Heningnya pagi yang dingin
kala itu diiringi suara gemericik air wudhu yang sedang diambil oleh Hasan,
adikku. Seperti biasa ia selalu sholat sunnah sebelum subuh. Entah kenapa aku
tertarik untuk menontonnya. Udara segar dan dingin dapat kurasakan menerpa kepala
dan rambutku yang menengok jendela. Adikku masih sangat kecil. Akan tetapi ia
begitu taat untuk melaksanakan perintah-Nya. Aku tersenyum kagum. Indahnya
pemandangan seperti itu di desaku. Dan tak terasa sudah sepuluh tahun aku
meninggalkan kampung halamanku. Kurindukan betapa sejuk udara yang mengalir
pada atmosfer kampungku. Orang-orang yang lalu lalang. Dan tak jarang menyapa
dengan kata-kata sopan. Oh, aku sangat merindukannya. Aku rindu pada tanah
kelahiranku. Ingin ku berkunjung ke sana setelah sekian lama.
Aku sudah di sini
bertahun-tahun. Kontrak kerja yang mengikat membuatku tak bisa kembali meski
puluhan ribu dollar mengalir lancar ke rekeningku. Apa guna uang sebanyak itu
jika tak bisa kugunakan semauku. Apa guna kekayaan jika tak bisa kunikmati.
Hey, kenapa aku tidak bersyukur? Tuhan memberikan segalanya untukku.
Kecantikan, kepandaian, dan kepiawaian. Begitu kata banyak orang. Mengapa aku
bingung dengan uang sebanyak itu. Bukankah setiap bulan aku bisa mengirimi orang
tuaku dengan nominal uang lebih dari sepuluh juta rupiah. Apalagi yang kurang?
Uang bagaikan dewa yang mendarah daging. Kebahagiaan dan kesuksesan masa kini
diukur dengan uang. Ya, benar. Setahun yang lalu aku mendapatkan kabar bahwa
Hasan, adikku kecelakaan. Ia harus dioperasi. Ibuku meminta agar Hasan
mendapatkan perawatan terbaik. Tentu saja, biaya yang tidak murah harus
dikeluarkan. Kurang lebih seratus tujuh puluh juta rupiah aku transfer ke
rekening ibu. Dan berkat uang itulah Hasan bisa sembuh. Ia mendapatkan
perawatan terbaik di rumah sakit kota besar. Ibuku sangat berterima kasih
kepadaku. Aku lega. Untung saja tak pernah kuhambur-hamburkan uang hasil jerih
payahku. Seratus juta bukan nominal yang besar jika dibandingkan dengan
penghasilanku. Di sini aku tidak bekerja sebagai tenaga buruh kasar. Tentu saja
aku bekerja sebagai tenaga ahli. Sebuah perusahaan besar merekrutku sepuluh
tahun yang lalu. Mereka meletakkanku pada bagian penyeleksian pekerja. Selain
itu aku memiliki supermarket yang khusus menjual barang-barang khas Indonesia.
Tidak jarang aku menyempatkan diri untuk menambah penghasilan dengan
berinvestasi. Seorang workaholic. Keyakinanku untuk menumpuk uang
sebanyak mungkin membuatku beranggapan bahwa bekerja dan bekerja adalah satu-satunya
tujuan hidup. Uang akan mengabulkan segala permintaan kita. Uang akan
memberikan kemudahan dalam menjalani hidup. Untuk itulah aku mencarinya.
Apartemen 10×11m2
yang kutempati kini terasa lebih sempit. Kerinduanku akan kampung halaman
semakin membuncah tatkala ramadhan sudah semakin dekat. Kenapa aku begitu
merindukannya? Tidak seperti tahun-tahun lalu. Aku tidak pernah peduli dengan
keluargaku. Asal uang sudah kukirim, berarti lepas sudah tanggung jawabku. Itu
saja. Namun, kali ini berbeda. Aku benar-benar ingin pulang ke Indonesia. Air
mataku perlahan-lahan mengalir. Apa kiranya yang mereka akan katakan ketika aku
pulang. Aku rindu. Tapi aku tak mampu. Untuk pulang ke sana tidaklah cukup
berbekal uang maupun titel kesuksesan. Kampung halamanku bukanlah sebuah
kompleks perkotaan. Mereka masih memegang teguh adat dan kebudayaan leluhur.
Dan baru kali ini sedikit demi sedikit kusadari jika uang tidak dapat
menyelesaikan semua masalah. Uang tidak dapat menggantikan kerinduan ibu akan
diriku.
Kubuka jendela apartemenku.
Ingin kusaksikan matahari terbenam dari apartemen lantai sembilan kota New
York. Jarang-jarang aku menyaksikan sunset terkecuali musim panas. Summer
cold yang katanya jauh lebih berbahaya dari musim dingin nyatanya masih
bisa kulalui dengan menikmati pemandangan hangat seperti ini. Kurebahkan
tubuhku di kasur. Masih terbayang-bayang di otakku akan kontrak kerja dengan
perusahaan. Besok aku harus menemui Laura Lincoln, seorang designer domestik
yang cukup terkenal di New York. Kubuka handphoneku. Tak ada satupun sms
basa-basi yang masuk terkecuali dari atasanku. Itupun masih berhubungan dengan
proyek yang akan kami tangani. MasyaAllah, kenapa tingkat stress yang kualami
begitu tinggi. Kuusap-usap kepalaku berkali-kali. Kutengok kalender yang
tergeletak manis di meja kerjaku. Juni, 2011. Berapa usiaku saat ini? Aku
beranjak untuk berkaca di hadapan cermin. Tak ada satupun kerutan di wajahku.
Begitu pula warna kulitku. Tidak berubah. Tubuhku masih tetap langsing dan
proporsional. Kemajuan teknologi dapat memperlambat penuaan seorang wanita.
Sangat tidak pas apabila aku menjawab sebuah pertanyaan “Berapa usiamu nona?”
dengan jawaban, “Tiga puluh dua tahun.” Orang akan berfikir jika usiaku masih
berkepala dua. Akan tetapi, bukan itu yang kubanggakan. Ini bukanlah sebuah
kebanggaan. Aku masih bertanya-tanya, inikah yang aku inginkan? Menjadi seorang
wanita karir, sukses, dan banyak uang? Menjadi wanita cantik, modis, dan
menarik perhatian. Apa guna kecantikan jika hanya diagungkan. Hanya decak kagum
yang kudapatkan. Berbangga hati, namun sebentar. Ahh… apa kata orang di kampung
halamanku yang begitu kolot. Seorang wanita berusia tiga puluh dua tahun belum
menikah. Mereka mungkin kagum padaku. Tapi tidak untuk memilihku. Aku dianggap
sebagai patung emas yang patut untuk dipuja dan dikagumi semata.
Aku terenyum di depan
cermin. Kuingat masa-masa remajaku, dimana aku masih tinggal di kampung. Aku
masih memakai jilbab yang tertutup sembari berkaca pada cermin tua peninggalan
kakek sebelum berangkat ke masjid. Kupeluk mukena dan Al-Qur’an sembari
berpamitan pada ibu. Banyak para santri yang lewat di depan rumahku mengucapkan
salam. Aku tersenyum malu untuk menjawab. Apalagi ada seorang santri yang sudah
lama aku menaruh hati padanya. Dialah mas Ridwan. Hatiku bergetar hebat kala
pria itu tersenyum padaku. Mas Ridwan bukanlah santri biasa. Ia adalah santri
kesayangan Kyai Umar. Tutur katanya yang halus dan sopan membuat siapapun
yang berada di dekatnya merasa nyaman. Tatapan matanya yang teduh membuat
para gadis terenyuh. Tak jarang para ibu mendambakan seorang menantu seperti
dia. Tak terkecuali ibuku.
“Assalamu’alaikum,
Madina.”sapanya membuyarkan lamunanku.
“Wa… wa’alaikum salam. Ah,
kang Ridwan.”aku gugup.
Ridwan hanya tersenyum dan
berlalu. Aku malu setengah mati. Pipiku jadi merah seperti tomat yang matang.
Langkahku sedikit goyah. Ya Allah, inikah cinta. Sapaan salamnya menjadi anak
panah yang dibusurkan di dada. Tatapannya membuat tubuhku bergetar hingga
meruntuhkan keseimbangan tubuhku.
“Ridwan.” namanya kusebut
berkali-kali dalam hati. Langkahku semakin bersemangat menuju masjid.
Aku tersenyum sinis pada
cermin apartemen. Aku begitu rapuh. kulihat masa laluku yang indah hanya
menjadi uap tanpa arah. Kuputar lagi memoriku sembari berjalan menuju tempat
tidur.
Waktu itu aku hanya
mempunyai satu mimpi sederhana. Menikah. Aku ingin segera menikah di usiaku
yang ke tujuh belas. Kuutarakan niatku pada ibu. Ibu pun agaknya menyambut
gembira keinginanku. Akan tetapi tak kuutarakan pada siapa aku ingin menikah.
Dan tentu saja mas Ridwan. Aku jadi sering membayangkan apabila aku menikah
dengannya, aku akan menjadi ibu yang bahagia. Mempunyai keturunan dan setiap
hari menunggu suamiku pulang. Apalagi mas Ridwan adalah seorang pegawai negeri
dan seorang guru di madrasah aliyah tempatku bersekolah. Sekalipun
penghasilannya kecil, banyak wanita yang tertarik padanya. Dia juga mengajarkan
tarbiyah di kelasku. Mas Ridwan, andaikan kau pinang aku sekarang, maka akan ku
katakan pada ayahku untuk menikahkan aku denganmu segera. Dan ketika mimpiku
sedang indah-indahnya, seseorang mengetuk pintu. Alangkah terkejutnya aku kala
mas Ridwan yang sedang bertamu. Hatiku bergetar, namun terasa sangat bahagia.
Akan tetapi ia tidak sendiri. Ia bersama seorang wanita alim yang cukup kukenal.
Mbak Ratih. Guru mengajiku di Masjid.
Mas Ridwan diam saja kala
tahu aku yang membukakan pintu. Mbak Ratih tersenyum dan menyalamiku.
“Madina, maaf kami tak bisa
lama-lama. Kami hanya mengantarkan ini.”ucapnya lembut sembari menyerahkan
sebuah amplop.
Deggg. Jantungku berdegup
kencang. Kala mbak Ratih meminta agar amplop itu disampaikan ke ayah dan ibuku,
aku mengangguk. Mbak ratih pamit duluan dan menyalamiku. Kemudian mas Ridwan.
Aku masih tak mengerti. Tatapan mas Ridwan begitu sayu di mataku. Kututup pintu
rumah dan segera kubuka amplop itu. Dan benar dugaanku. Amplop itu adalah
undangan pernikahan. Hatiku terasa hancur. Air mataku mengalir dan tak dapat
kutahan. Ingin kurobek undangan itu segera. Aku berlari ke kamar dan menuju
pintu. Hatiku sangat sakit seperti di hujam palu. Ingin kusalahkan waktu dan
Tuhan waktu itu. Begitu juga mas Ridwan. Untuk apa ia selalu tersenyum manis
kala menyapaku? Dan untuk apa ia begitu perhatian saat mengajariku? Omong
kosong. Impianku pudar. Laki-laki yang amat sangat kucintai akan bersanding
dengan perempuan lain. Kutarik jilbabku. Kuremas-remas dan kubuang begitu saja
di lantai. Tak ada yang tau. Tak akan ada yang mengerti rasa sakitku. Hanya air
mata di wajahku. Hanya sesak nafas di dadaku. Cintaku bertepuk sebelah tangan
di kala hatiku sedang indah-indahnya membayangkan. Ya Allah ya Tuhanku, kenapa
aku jatuh terlalu cepat. Segera ku ambil gunting di laci meja. Kukeluarkan
semua jilbabku dari almari. Entah syaithan apa yang menghasutku hingga
kuguntingi semua jilbab yang aku miliki. Aku benar-benar jatuh dalam depressi.
Hingga suatu ketika ibuku menemukan kegilaanku, aku tidak lagi memakai jilbab.
“Apa-apaan kau
Madina?”teriak ayahku. Aku hanya tersenyum sinis. Ibu berusaha menenangkan
ayah. “Perempuan macam apa kau ini? Apa kau mau disamakan dengan
perempuan-perempuan pezina?”
“Astagfirullah,
bapak!”teriak ibu.
Aku tidak menggubris. Toh
aku juga sudah lulus dari madrasah. Aku sudah punya ijasah. Aku sudah memutar
haluan hidupku. Aku tidak menginginkan sebuah pernikahan. Aku ingin menjadi
seorang perempuan sukses. Ayahku tampak shock.
Benar apa yang kuduga. Ayah
pasti akan mengambil jalan menjodohkanku. Aku terang-terangan menolak dan
ayahku menampar wajahku. Terpaksa aku mengiyakan. Ia akan menjodohkanku dengan
anak seorang saudagar kaya di kota. Namun aku tak kehabisan akal. Aku coba
untuk menghubungi kenalanku di Jakarta. Aku meminta tolong padanya berhubung
beliau adalah seorang aktivis perempuan. Alhasil usahaku tak sia-sia. Aku kabur
ke Jakarta sehari sebelum pernikahanku. Ayahku semakin shock dan terkena
stroke. Aku tidak peduli. Aku seolah tak mau peduli lagi dengan semuanya. Aku
meninggalkan kampung halaman dan belajar keras demi meraih impianku.
Masih ku ingat, sehari
sebelum aku kabur, aku sempat menemui mas Ridwan. Kami bertemu di madrasah.
“Madina, apa yang akan kau
lakukan?”tanya mas Ridwan.
Aku tersenyum pahit.
“Izinkan aku mengatakan ini sebelum pergi.”
Agaknya mas Ridwan tak
mengerti maksudku. Yang ia tau adalah besok aku akan menikah. Aku kabur dari kamar
tempatku dipingit. Ingin kuungkapkan perasaanku yang selama ini kupendam.
“Aku mencintaimu mas.”
“Astagfirullah.”sentak mas
Ridwan.
“Kenapa? Dosakah
perbuatanku? Dosakah aku memendam perasaan itu? Ketahuilah, aku mencintaimu
sebelum engkau menikahi mbak Ratih. Aku kira kau juga demikian. Kau selalu
memberiku harapan hingga aku selalu bermimpi untuk dapat bersanding denganmu.
Salahkah aku mas?”
“Din, aku sudah menikah.”
Air mataku mengalir deras.
Aku tahu itu. Dan akupun tak meminta apapun darinya.
“Aku tau. Dan aku sudah
menemukan mimpi yang lain untukku. Tak usah khawatir mas.”
Aku berlalu meninggalkan
mas Ridwan dan mengambil barang-barangku menuju stasiun. Kuhela nafasku
dalam-dalam. Hari ini adalah hari bersejarah dimana kugagalkan semuanya. Kugagalkan
impian kedua orang tuaku untuk mendapatkan seorang menantu. Akan tetapi,
kegagalan ini adalah jalan awal bagi mereka untuk menghadapi kehidupan yang
lebih baik. Itu bagiku. Tak tahu bagi mereka.
Jam dinding terus
berdenting. Siang telah menjelma menjadi malam. Hari pun terus-menerus
berganti. Tahun demi tahun kulalui, dan tak ku hubungi keluargaku sama sekali.
Suatu ketika orang yang pernah mengasuhku di Jakarta bertanya apakah aku ingin
mengunjungi kampung halaman. Tentu saja tidak. Aku masih terlalu benci menatap
hati dan keinginan terdalamku itu sendiri. Aku membenci cinta yang bertepuk
sebelah tangan. Dan aku membenci ayahku. Laki-laki selalu mendapatkan apa yang
mereka mau. Mereka menganggap kedudukan mereka jauh lebih tinggi. Walaupun
ayahku sudah tiada, aku masih membencinya. Dan tak ada terang di hatiku kala
itu. Kenapa dendam membuncah di dalamnya. Aku menangis. Dalam doa aku menangis.
Manusia macam apa aku yang hanya karena cinta akupun jatuh. Meski tak sampai
terjatuh ke dalam jurang yang dalam.
Setelah mendapatkan
pekerjaan sebagai salah satu sekretaris di sebuah perusahaan ternama, aku mulai
berhubungan dengan keluargaku. Kakak tertuaku datang ke Jakarta dan memintaku
pulang. Aku tidak mau. Hanya kukatakan jika mereka butuh uang, maka hubungi
aku. Kenapa aku begitu arogan? Siapakah aku? Aku adalah manusia yang mengejar
kesuksesan dengan kebencian. Dan membalas dendam dengan melambai-lambaikan
kertas berupa uang.
Senja masih menyinari
apartemenku. Aku masih juga duduk terpaku. Menghayati kisahku di masa lalu.
Walau sebagian tak terselesaikan, ingin kuperbaiki semua itu. Rasa rinduku pada
kampung halaman tak terbendung. Aku menangis. Benar-benar menangis. Air mataku
membasahi kerah baju. Entah kenapa aku merasakan kehampaan yang dalam. Sepi, sunyi,
tiada siapa-siapa di sisi. Kulihat wajah langit semakin berseri walau gelap
sebentar lagi menyelimuti. Kuhapus air mataku. Aku pun tersenyum. Benar, aku
harus percaya. Ini bukanlah akhir dari segalanya. Masih ada waktu untuk
memperbaiki.