“Lihatlah
anakku! Lihatlah bintang yang bersinar itu!”ucap bunda sembari memelukku dari
belakang. Aku diam saja. Tak ada kata-kata yang bisa kukatakan padanya.
“Anakku,
apa kau sudah tak bisa melihat keindahan yang ada dalam dirimu? Mengapa kamu
sekarang jadi pendiam seperti itu?”desak bundaku lagi. Diciuminya rambutku
dengan penuh kasih sayang. Aku berbalik memeluk bundaku. Tak terasa air mataku
jatuh mengalir.
“Bunda,
mengapa semua orang tidak ada yang mau mengerti denganku? Kenapa semuanya
memaksaku untuk mematuhi kebenaran atas diri mereka? Apa yang sebenarnya mereka
harapkan dariku bunda?”rintihku.
“Anakku…
.”
“Bunda,
tidak tahukah mereka bahwa aku juga punya kebenaran atas jiwaku sendiri. Dan
kebenaran itu tidak salah bunda. Apa bunda mengerti?”lanjutku sambil terisak.
Bunda
memeluk tubuhku dengan erat. Ia begitu memahami situasiku. Kucoba untuk
berbicara lagi, namun bunda menghentikanku segera.
“Bun
aku… .”
“Cukup!
Cukuplah anakku! Bunda tahu, nak!”
“Bunda…
.”rintihku lagi.
“Nak,
dengarkan orang tuamu! Tidak ada orang tua yang akan menjerumuskan anaknya ke
dalam hal-hal yang tidak benar. Aku ibumu dan aku mengenalmu. Tidak ada yang
akan menyakitimu dalam pelukan bundamu, anakku.”
Aku
memeluk bunda dengan lebih erat. Ada kedamaian yang justru menyesakkan dadaku.
Aku tahu bahwa ada jurang perbedaan yang sangat dalam di antara kami berdua.
Jurang itulah yang tidak dapat kami satukan dengan mudah. Bunda dan aku memiliki
keyakinan yang berbeda dalam diri masing-masing. Namun ia tidak membenciku.
Tidak seperti kebanyakan orang yang mencemooh. Semua berpikir bahwa aku adalah
manusia sesat. Aku adalah perempuan laknat dalam kacamata kebenaran mereka.
“Aku
begitu mengagumi Muhammad… .”kataku sambil tetap memeluk wanita itu. “Muhammad
begitu menghargai kaum Nasrani dan Yahudi tanpa mencaci maki keberadaan
keyakinan mereka.”
Ibuku
tersenyum. Ia membelai rambutku dengan penuh kasih sayang. “Benar anakku… .
Muhammad adalah sosok manusia yang luar biasa.”
Kulepaskan
pelukanku. Aku tersenyum sembari menghapus air mata. “Benar, sama seperti aku
mengagumi Maria. Maria adalah sosok wanita cantik yang selalu mengisi ruang
batinku.”
Bunda
mengangguk dan kembali memelukku. “Benar sayang. Maria adalah sosok perempuan
yang luar biasa.”
“Bunda,
taukah bunda jika aku juga mengagumi keindahan tanah Israel. Aku tahu gambaran
tanah itu ketika seorang teman menampilkan foto-foto perjalanannya di sana. Aku
ingin ke sana bunda!”
“Ya,
suatu saat nak… .”
“Orang-orang
Yahudi itu sangat cerdas. Aku punya teman seorang Yahudi yang baik dan penuh
kasih sayang.”ceritaku dengan semangat.
“Wah,
syukurlah nak. Lalu, apa lagi yang ingin kau ceritakan pada bundamu?”
Aku
tersenyum bahagia. Kulepaskan pelukannya dan kupandangi langit dengan wajah
berseri-seri. “Ketika aku membuka kitab Injil, aku melihat ada kedamaian kasih
sayang dalam ayat-ayatnya. Seseorang berkata padaku bahwa tidak ada keraguan di
dalam Injil akan kasih sayang Tuhan bagi seluruh umat manusia.”
Bundaku
terdiam. Entah apa maksudnya aku tak mengerti. Kulanjutkan saja ceritaku.
“Lalu
aku membaca salah satu doa orang Yahudi, bunda. Seseorang menuliskan itu dan
aku membacanya dengan seksama. Sungguh mengagumkan.”
“Doa?
Bagaimana bunyinya?”tanya bunda.
-“Barukh
atah Adonai Eloheinu Melekh ha’olam, asher kid’shanu b’mitzvotav v’tzivanu
l’hadlik ner shel Shabbat?”-
“Bahasanya
cukup menarik. Tapi aku tidak mengerti artinya. Aku ingin bertanya tapi tak ada
waktu.”tuturku.
Kuperhatikan
raut wajah bunda. Ada ketidak-setujuan pemahaman yang aku tangkap dari hatinya.
Kemudian bunda bertanya kepadaku.
“Nak,
izinkan ibumu bertanya jika kau berkenan untuk menjawabnya. Apa sebenarnya
agama yang kau yakini saat ini?”
Aku
terdiam sejenak. Ada ketakutan tatkala lidahku berusaha untuk menjelaskan
keyakinan yang kini kujalani.
“Bun…
bunda maafkan aku… .”
“Maaf?
Kenapa minta maaf?”bunda mulai keheranan.
“Maafkan
ananda… . ananda tidak punya agama.”jelasku sambil terbata-bata.
“Apa?
Anakku, apa yang kau katakan?”bunda terkejut sembari mengoyak bahuku.
“Bunda,
kenapa ananda harus punya agama? Apakah ananda salah ketika ananda menyatakan
tidak satupun agama itu menjadi milik ananda?”ucapku dengan nada tinggi.
“Nak,
jangan sekali-kali kau katakan itu di depan bundamu!”bentaknya.
“Bun,
apalah arti sebuah agama jika dengan bangga manusia-manusia itu berbuat keji
terhadap makhluk Tuhan yang lainnya? Apalah arti sebuah agama bilamana mereka
berani membunuh orang lain atas nama agama? Bukankah agama mengajarkan kepada
kita kedamaian yang nyata? Dan apakah semua agama tersebut pernah mengajarkan
kebencian kepada manusia? Tidak bukan?”
“Nak,
sadarlah… . Buka mata hatimu!”
Aku
tersenyum sinis. Kutatap wajah bundaku dengan sedikit berani.
“Kalau
aku seorang Kristiani, apakah bunda akan menerimaku? Apakah jika aku seorang
Yahudi bunda juga masih menerimaku?”
“Nak,
kamu tahu bunda adalah seorang Muslimah. Apakah kamu mau mengatakan bahwa kamu
malu menjadi bagian dari kami sebagai orang Islam?”jelas perempuan itu.
“Tidak,
aku tidak pernah malu menjadi siapapun. Aku tidak pernah malu dikatakan sebagai
penganut agama manapun. Bunda, semua agama adalah benar.”
“Diam
anakku! Mau jadi orang liberal kamu sekarang? Apa tidak cukup bunda
bertoleransi dengan pilihanmu!”
Aku
tertegun. Hatiku menjadi sedih. Bundaku menentang keyakinanku. Aku tak
mengerti. Semua terasa hambar dan sunyi.
“Nak,
tolonglah jangan kau jerumuskan ayah-ibumu ke dalam neraka! Tolonglah
anakku!”rintih bunda sembari memelukku lagi. Tampaknya ia menangis. Aku merasa
sangat-sangat bersalah. Tapi apa daya dengan diriku. Keyakinan tak akan
sebegitu mudahnya dirubah.
“Bunda,
tahukah bunda tentang kebenaran kitab Injil? Orang kristiani tidak akan rela
dikatai bahwa Injil adalah kitab palsu yang dibuat oleh manusia. Seperti halnya
Al-Qur’an, mana rela orang Islam dikatai bahwa Al-Qur’an adalah buatan dari
Muhammad semata? Tidak ada yang rela bukan? Semua berpegang pada keyakinan
masing-masing, bunda.”
“Nak…
.”
Aku
tersenyum dengan lega. Namun ada kepiluan yang tiba-tiba menyesakkan dada. Aku
teringat pada kejadian yang tak mengenakkan buatku beberapa tahun lalu.
“Bunda,
aku benci orang Islam!”pekikku tiba-tiba.
“Apa?
Apa yang kau katakan?”
“Aku
benci orang-orang Islam yang dengan membabi-buta membunuh orang-orang yang tak
sepaham dengan penafsirannya. Sama ketika Allah menurunkan ayat surah Al-Maun
di dalam Al-Qur’an.”
“Apa
maksudmu?”bundaku keheranan.
“Maka
celakalah orang yang shalat! Yaitu orang-orang yang lalai akan shalatnya.”
“Nak,
bunda tak mengerti!”
“Ya
seperti itu gambarannya. Ketika orang-orang yang mengaku Islam mencoba untuk
membunuh saudara se-imannya, maka akan sama analoginya dengan orang yang
mengaku shalat, tapi lalai dalam shalatnya.”
Bundaku
semakin tak mengerti.
“Sama
seperti orang-orang yang beragama, namun tidak menjalankan kewajiban agamanya
dengan benar. Lalu apakah kewajiban orang-orang yang beragama? Jawabannya
adalah menebarkan kebaikan-kebaikan kepada seluruh makhluk ciptaan Tuhan di
dunia.”
“Nak…
jadi maksudmu tidak beragama itu apa?”
“Bunda,
apalah gunanya ananda menganut sebuah agama tanpa menjalankannya dengan baik.
Perkara akidah itu adalah urusan ananda dengan Tuhan Yang Maha Esa. Dan perkara
hubungan dengan manusia adalah hal terpenting yang harus ananda lakukan.”
“Bunda
tak mengerti… .”
“Bunda…
. Lihatlah ini!”kutunjukkan padanya sebuah Al-Qur’an tafsir. “Aku mengenal
Injil dan kitab-kitab lain dari sini. Ini adalah kitab luar biasa yang dibawa
Muhammad sebagai pedoman seluruh ummat.
“Bun,
jika ananda mengatakan ananda Islam dengan orang-orang yang tidak berbahasa
arab, maka ananda telah mengingkari ajaran kebenaran ananda sendiri. Islam
adalah ajaran selamat bagi seluruh ummat manusia di dunia jika
ditafsirkan ke dalam bahasa kita. Dan apakah di dalam ajaran selamat itu ada
yang mengatakan bahwa Nasrani dan Yahudi adalah ajaran sesat? Tidak bunda!
Tidak ada di dalam Al-Qur’an yang mengatakan ajaran agama lain itu sesat!
Kalaupun ada ayat yang menyatakan mereka musuh, itu bukanlah suatu pernyataan
yang mengatakan ajaran lain adalah sesat!”
Ibuku
terdiam. Kemudian ia mulai tertarik dengan apa-apa yang tengah kubicarakan.
“Musuh
dalam artian tidak hanya orang-orang berbeda keyakinan. Sesama penganut Islam
pun bisa menjadi musuh apabila kita tidak toleran terhadap apa-apa yang mereka
yakini. Orang-orang yang memahami Tuhan dengan benar tidak akan menebar
permusuhan. Tuhan tidak pernah mengajarkan kebencian kepada makhluk-Nya.”
“Nak…
lalu apa sebenarnya yang kau yakini sekarang?”
“Aku
tidak meyakini agama manapun. Tapi juga tidak menolak mereka. Aku meyakini
ajaran yang dibawa Muhammad. Ajaran selamat yang tidak mengatakan ajaran-ajaran
lain adalah sesat. Aku menyakini bahwa hubungan manusia dengan Tuhannya adalah
privasi yang nyata. Kesesatan itu adalah apabila kita berbuat keji, korupsi,
seks bebas, dan masih banyak yang lain. Itulah kesesatan bagi ananda.”
“Anakku,
jadi inikah maksudmu?”
“Orang-orang
yang tidak toleran. Itulah bagian dari kesesatan di mata ananda. Muhammad telah
mengajarkan pluralisme yang luar biasa bagi manusia.
“Dan
akupun bangga apabila seseorang menyebutku sebagai orang Yahudi, Buddhis,
Hindu, ataupun Kristiani. Aku bangga dengan ajaran-ajaran kedamaian seperti
itu.”
Ibuku
terenyuh. Kemudian ia mengoyak lembut rambut di kepalaku.
“Dan
tentunya kau bangga di sebut sebagai orang Islam juga bukan?”
Aku
tersenyum… . kubisikkan dengan penuh cinta ke telinga Ibundaku. “Itu adalah
kemuliaan yang tiada tara bagi ananda.”
“Nak,
kalau begitu belajarlah untuk tidak membenci siapapun! Bahkan ketika orang-orang
mengataimu sebagai orang sesat. Janganlah kau benci kepada mereka! Bahkan
kepada penjahat sekalipun, belajarlah untuk tidak membencinya.”
“Benar
bunda. Benar. Dan aku meyakini kebenaran itu.”
Bunda
dan aku sama-sama saling berpandangan. Kemudian kami tertawa bersama. Ada
kebahagiaan yang tak bisa kuungkapkan ketika aku mampu menjelaskan tentang
apa-apa yang telah kuyakini. Perbedaan tidak akan menjadi masalah yang berarti.
Islam
is Rahmatan lil Alamin
17 June 2013
| 20:28
Tidak ada komentar:
Posting Komentar