Pembaca

Minggu, 08 Juni 2014

Bunda, Maafkan Anakmu Tidak Punya Agama!



“Lihatlah anakku! Lihatlah bintang yang bersinar itu!”ucap bunda sembari memelukku dari belakang. Aku diam saja. Tak ada kata-kata yang bisa kukatakan padanya.
“Anakku, apa kau sudah tak bisa melihat keindahan yang ada dalam dirimu? Mengapa kamu sekarang jadi pendiam seperti itu?”desak bundaku lagi. Diciuminya rambutku dengan penuh kasih sayang. Aku berbalik memeluk bundaku. Tak terasa air mataku jatuh mengalir.
“Bunda, mengapa semua orang tidak ada yang mau mengerti denganku? Kenapa semuanya memaksaku untuk mematuhi kebenaran atas diri mereka? Apa yang sebenarnya mereka harapkan dariku bunda?”rintihku.
“Anakku… .”
“Bunda, tidak tahukah mereka bahwa aku juga punya kebenaran atas jiwaku sendiri. Dan kebenaran itu tidak salah bunda. Apa bunda mengerti?”lanjutku sambil terisak.
Bunda memeluk tubuhku dengan erat. Ia begitu memahami situasiku. Kucoba untuk berbicara lagi, namun bunda menghentikanku segera.
“Bun aku… .”
“Cukup! Cukuplah anakku! Bunda tahu, nak!”
“Bunda… .”rintihku lagi.
“Nak, dengarkan orang tuamu! Tidak ada orang tua yang akan menjerumuskan anaknya ke dalam hal-hal yang tidak benar. Aku ibumu dan aku mengenalmu. Tidak ada yang akan menyakitimu dalam pelukan bundamu, anakku.”
Aku memeluk bunda dengan lebih erat. Ada kedamaian yang justru menyesakkan dadaku. Aku tahu bahwa ada jurang perbedaan yang sangat dalam di antara kami berdua. Jurang itulah yang tidak dapat kami satukan dengan mudah. Bunda dan aku memiliki keyakinan yang berbeda dalam diri masing-masing. Namun ia tidak membenciku. Tidak seperti kebanyakan orang yang mencemooh. Semua berpikir bahwa aku adalah manusia sesat. Aku adalah perempuan laknat dalam kacamata kebenaran mereka.
“Aku begitu mengagumi Muhammad… .”kataku sambil tetap memeluk wanita itu. “Muhammad begitu menghargai kaum Nasrani dan Yahudi tanpa mencaci maki keberadaan keyakinan mereka.”
Ibuku tersenyum. Ia membelai rambutku dengan penuh kasih sayang. “Benar anakku… . Muhammad adalah sosok manusia yang luar biasa.”
Kulepaskan pelukanku. Aku tersenyum sembari menghapus air mata. “Benar, sama seperti aku mengagumi Maria. Maria adalah sosok wanita cantik yang selalu mengisi ruang batinku.”
Bunda mengangguk dan kembali memelukku. “Benar sayang. Maria adalah sosok perempuan yang luar biasa.”
“Bunda, taukah bunda jika aku juga mengagumi keindahan tanah Israel. Aku tahu gambaran tanah itu ketika seorang teman menampilkan foto-foto perjalanannya di sana. Aku ingin ke sana bunda!”
“Ya, suatu saat nak… .”
“Orang-orang Yahudi itu sangat cerdas. Aku punya teman seorang Yahudi yang baik dan penuh kasih sayang.”ceritaku dengan semangat.
“Wah, syukurlah nak. Lalu, apa lagi yang ingin kau ceritakan pada bundamu?”
Aku tersenyum bahagia. Kulepaskan pelukannya dan kupandangi langit dengan wajah berseri-seri. “Ketika aku membuka kitab Injil, aku melihat ada kedamaian kasih sayang dalam ayat-ayatnya. Seseorang berkata padaku bahwa tidak ada keraguan di dalam Injil akan kasih sayang Tuhan bagi seluruh umat manusia.”
Bundaku terdiam. Entah apa maksudnya aku tak mengerti. Kulanjutkan saja ceritaku.
“Lalu aku membaca salah satu doa orang Yahudi, bunda. Seseorang menuliskan itu dan aku membacanya dengan seksama. Sungguh mengagumkan.”
“Doa? Bagaimana bunyinya?”tanya bunda.
-“Barukh atah Adonai Eloheinu Melekh ha’olam, asher kid’shanu b’mitzvotav v’tzivanu l’hadlik ner shel Shabbat?”-
“Bahasanya cukup menarik. Tapi aku tidak mengerti artinya. Aku ingin bertanya tapi tak ada waktu.”tuturku.
Kuperhatikan raut wajah bunda. Ada ketidak-setujuan pemahaman yang aku tangkap dari hatinya. Kemudian bunda bertanya kepadaku.
“Nak, izinkan ibumu bertanya jika kau berkenan untuk menjawabnya. Apa sebenarnya agama yang kau yakini saat ini?”
Aku terdiam sejenak. Ada ketakutan tatkala lidahku berusaha untuk menjelaskan keyakinan yang kini kujalani.
“Bun… bunda maafkan aku… .”
“Maaf? Kenapa minta maaf?”bunda mulai keheranan.
“Maafkan ananda… . ananda tidak punya agama.”jelasku sambil terbata-bata.
“Apa? Anakku, apa yang kau katakan?”bunda terkejut sembari mengoyak bahuku.
“Bunda, kenapa ananda harus punya agama? Apakah ananda salah ketika ananda menyatakan tidak satupun agama itu menjadi milik ananda?”ucapku dengan nada tinggi.
“Nak, jangan sekali-kali kau katakan itu di depan bundamu!”bentaknya.
“Bun, apalah arti sebuah agama jika dengan bangga manusia-manusia itu berbuat keji terhadap makhluk Tuhan yang lainnya? Apalah arti sebuah agama bilamana mereka berani membunuh orang lain atas nama agama? Bukankah agama mengajarkan kepada kita kedamaian yang nyata? Dan apakah semua agama tersebut pernah mengajarkan kebencian kepada manusia? Tidak bukan?”
“Nak, sadarlah… . Buka mata hatimu!”
Aku tersenyum sinis. Kutatap wajah bundaku dengan sedikit berani.
“Kalau aku seorang Kristiani, apakah bunda akan menerimaku? Apakah jika aku seorang Yahudi bunda juga masih menerimaku?”
“Nak, kamu tahu bunda adalah seorang Muslimah. Apakah kamu mau mengatakan bahwa kamu malu menjadi bagian dari kami sebagai orang Islam?”jelas perempuan itu.
“Tidak, aku tidak pernah malu menjadi siapapun. Aku tidak pernah malu dikatakan sebagai penganut agama manapun. Bunda, semua agama adalah benar.”
“Diam anakku! Mau jadi orang liberal kamu sekarang? Apa tidak cukup bunda bertoleransi dengan pilihanmu!”
Aku tertegun. Hatiku menjadi sedih. Bundaku menentang keyakinanku. Aku tak mengerti. Semua terasa hambar dan sunyi.
“Nak, tolonglah jangan kau jerumuskan ayah-ibumu ke dalam neraka! Tolonglah anakku!”rintih bunda sembari memelukku lagi. Tampaknya ia menangis. Aku merasa sangat-sangat bersalah. Tapi apa daya dengan diriku. Keyakinan tak akan sebegitu mudahnya dirubah.
“Bunda, tahukah bunda tentang kebenaran kitab Injil? Orang kristiani tidak akan rela dikatai bahwa Injil adalah kitab palsu yang dibuat oleh manusia. Seperti halnya Al-Qur’an, mana rela orang Islam dikatai bahwa Al-Qur’an adalah buatan dari Muhammad semata? Tidak ada yang rela bukan? Semua berpegang pada keyakinan masing-masing, bunda.”
“Nak… .”
Aku tersenyum dengan lega. Namun ada kepiluan yang tiba-tiba menyesakkan dada. Aku teringat pada kejadian yang tak mengenakkan buatku beberapa tahun lalu.
“Bunda, aku benci orang Islam!”pekikku tiba-tiba.
“Apa? Apa yang kau katakan?”
“Aku benci orang-orang Islam yang dengan membabi-buta membunuh orang-orang yang tak sepaham dengan penafsirannya. Sama ketika Allah menurunkan ayat surah Al-Maun di dalam Al-Qur’an.”
“Apa maksudmu?”bundaku keheranan.
“Maka celakalah orang yang shalat! Yaitu orang-orang yang lalai akan shalatnya.”
“Nak, bunda tak mengerti!”
“Ya seperti itu gambarannya. Ketika orang-orang yang mengaku Islam mencoba untuk membunuh saudara se-imannya, maka akan sama analoginya dengan orang yang mengaku shalat, tapi lalai dalam shalatnya.”
Bundaku semakin tak mengerti.
“Sama seperti orang-orang yang beragama, namun tidak menjalankan kewajiban agamanya dengan benar. Lalu apakah kewajiban orang-orang yang beragama? Jawabannya adalah menebarkan kebaikan-kebaikan kepada seluruh makhluk ciptaan Tuhan di dunia.”
“Nak… jadi maksudmu tidak beragama itu apa?”
“Bunda, apalah gunanya ananda menganut sebuah agama tanpa menjalankannya dengan baik. Perkara akidah itu adalah urusan ananda dengan Tuhan Yang Maha Esa. Dan perkara hubungan dengan manusia adalah hal terpenting yang harus ananda lakukan.”
“Bunda tak mengerti… .”
“Bunda… . Lihatlah ini!”kutunjukkan padanya sebuah Al-Qur’an tafsir. “Aku mengenal Injil dan kitab-kitab lain dari sini. Ini adalah kitab luar biasa yang dibawa Muhammad sebagai pedoman seluruh ummat.
“Bun, jika ananda mengatakan ananda Islam dengan orang-orang yang tidak berbahasa arab, maka ananda telah mengingkari ajaran kebenaran ananda sendiri. Islam adalah ajaran selamat bagi seluruh ummat manusia di dunia jika ditafsirkan ke dalam bahasa kita. Dan apakah di dalam ajaran selamat itu ada yang mengatakan bahwa Nasrani dan Yahudi adalah ajaran sesat? Tidak bunda! Tidak ada di dalam Al-Qur’an yang mengatakan ajaran agama lain itu sesat! Kalaupun ada ayat yang menyatakan mereka musuh, itu bukanlah suatu pernyataan yang mengatakan ajaran lain adalah sesat!”
Ibuku terdiam. Kemudian ia mulai tertarik dengan apa-apa yang tengah kubicarakan.
“Musuh dalam artian tidak hanya orang-orang berbeda keyakinan. Sesama penganut Islam pun bisa menjadi musuh apabila kita tidak toleran terhadap apa-apa yang mereka yakini. Orang-orang yang memahami Tuhan dengan benar tidak akan menebar permusuhan. Tuhan tidak pernah mengajarkan kebencian kepada makhluk-Nya.”
“Nak… lalu apa sebenarnya yang kau yakini sekarang?”
“Aku tidak meyakini agama manapun. Tapi juga tidak menolak mereka. Aku meyakini ajaran yang dibawa Muhammad. Ajaran selamat yang tidak mengatakan ajaran-ajaran lain adalah sesat. Aku menyakini bahwa hubungan manusia dengan Tuhannya adalah privasi yang nyata. Kesesatan itu adalah apabila kita berbuat keji, korupsi, seks bebas, dan masih banyak yang lain. Itulah kesesatan bagi ananda.”
“Anakku, jadi inikah maksudmu?”
“Orang-orang yang tidak toleran. Itulah bagian dari kesesatan di mata ananda. Muhammad telah mengajarkan pluralisme yang luar biasa bagi manusia.
“Dan akupun bangga apabila seseorang menyebutku sebagai orang Yahudi, Buddhis, Hindu, ataupun Kristiani. Aku bangga dengan ajaran-ajaran kedamaian seperti itu.”
Ibuku terenyuh. Kemudian ia mengoyak lembut rambut di kepalaku.
“Dan tentunya kau bangga di sebut sebagai orang Islam juga bukan?”
Aku tersenyum… . kubisikkan dengan penuh cinta ke telinga Ibundaku. “Itu adalah kemuliaan yang tiada tara bagi ananda.”
“Nak, kalau begitu belajarlah untuk tidak membenci siapapun! Bahkan ketika orang-orang mengataimu sebagai orang sesat. Janganlah kau benci kepada mereka! Bahkan kepada penjahat sekalipun, belajarlah untuk tidak membencinya.”
“Benar bunda. Benar. Dan aku meyakini kebenaran itu.”
Bunda dan aku sama-sama saling berpandangan. Kemudian kami tertawa bersama. Ada kebahagiaan yang tak bisa kuungkapkan ketika aku mampu menjelaskan tentang apa-apa yang telah kuyakini. Perbedaan tidak akan menjadi masalah yang berarti.

Islam is Rahmatan lil Alamin

17 June 2013 | 20:28

Tidak ada komentar:

Posting Komentar