Pembaca

Senin, 02 September 2013

Cerita Hati Seorang Wanita Karir


Heningnya pagi yang dingin kala itu diiringi suara gemericik air wudhu yang sedang diambil oleh Hasan, adikku. Seperti biasa ia selalu sholat sunnah sebelum subuh. Entah kenapa aku tertarik untuk menontonnya. Udara segar dan dingin dapat kurasakan menerpa kepala dan rambutku yang menengok jendela. Adikku masih sangat kecil. Akan tetapi ia begitu taat untuk melaksanakan perintah-Nya. Aku tersenyum kagum. Indahnya pemandangan seperti itu di desaku. Dan tak terasa sudah sepuluh tahun aku meninggalkan kampung halamanku. Kurindukan betapa sejuk udara yang mengalir pada atmosfer kampungku. Orang-orang yang lalu lalang. Dan tak jarang menyapa dengan kata-kata sopan. Oh, aku sangat merindukannya. Aku rindu pada tanah kelahiranku. Ingin ku berkunjung ke sana setelah sekian lama.
Aku sudah di sini bertahun-tahun. Kontrak kerja yang mengikat membuatku tak bisa kembali meski puluhan ribu dollar mengalir lancar ke rekeningku. Apa guna uang sebanyak itu jika tak bisa kugunakan semauku. Apa guna kekayaan jika tak bisa kunikmati. Hey, kenapa aku tidak bersyukur? Tuhan memberikan segalanya untukku. Kecantikan, kepandaian, dan kepiawaian. Begitu kata banyak orang. Mengapa aku bingung dengan uang sebanyak itu. Bukankah setiap bulan aku bisa mengirimi orang tuaku dengan nominal uang lebih dari sepuluh juta rupiah. Apalagi yang kurang? Uang bagaikan dewa yang mendarah daging. Kebahagiaan dan kesuksesan masa kini diukur dengan uang. Ya, benar. Setahun yang lalu aku mendapatkan kabar bahwa Hasan, adikku kecelakaan. Ia harus dioperasi. Ibuku meminta agar Hasan mendapatkan perawatan terbaik. Tentu saja, biaya yang tidak murah harus dikeluarkan. Kurang lebih seratus tujuh puluh juta rupiah aku transfer ke rekening ibu. Dan berkat uang itulah Hasan bisa sembuh. Ia mendapatkan perawatan terbaik di rumah sakit kota besar. Ibuku sangat berterima kasih kepadaku. Aku lega. Untung saja tak pernah kuhambur-hamburkan uang hasil jerih payahku. Seratus juta bukan nominal yang besar jika dibandingkan dengan penghasilanku. Di sini aku tidak bekerja sebagai tenaga buruh kasar. Tentu saja aku bekerja sebagai tenaga ahli. Sebuah perusahaan besar merekrutku sepuluh tahun yang lalu. Mereka meletakkanku pada bagian penyeleksian pekerja. Selain itu aku memiliki supermarket yang khusus menjual barang-barang khas Indonesia. Tidak jarang aku menyempatkan diri untuk menambah penghasilan dengan berinvestasi. Seorang workaholic. Keyakinanku untuk menumpuk uang sebanyak mungkin membuatku beranggapan bahwa bekerja dan bekerja adalah satu-satunya tujuan hidup. Uang akan mengabulkan segala permintaan kita. Uang akan memberikan kemudahan dalam menjalani hidup. Untuk itulah aku mencarinya.
Apartemen 10×11m2 yang kutempati kini terasa lebih sempit. Kerinduanku akan kampung halaman semakin membuncah tatkala ramadhan sudah semakin dekat. Kenapa aku begitu merindukannya? Tidak seperti tahun-tahun lalu. Aku tidak pernah peduli dengan keluargaku. Asal uang sudah kukirim, berarti lepas sudah tanggung jawabku. Itu saja. Namun, kali ini berbeda. Aku benar-benar ingin pulang ke Indonesia. Air mataku perlahan-lahan mengalir. Apa kiranya yang mereka akan katakan ketika aku pulang. Aku rindu. Tapi aku tak mampu. Untuk pulang ke sana tidaklah cukup berbekal uang maupun titel kesuksesan. Kampung halamanku bukanlah sebuah kompleks perkotaan. Mereka masih memegang teguh adat dan kebudayaan leluhur. Dan baru kali ini sedikit demi sedikit kusadari jika uang tidak dapat menyelesaikan semua masalah. Uang tidak dapat menggantikan kerinduan ibu akan diriku.

Kubuka jendela apartemenku. Ingin kusaksikan matahari terbenam dari apartemen lantai sembilan kota New York. Jarang-jarang aku menyaksikan sunset terkecuali musim panas. Summer cold yang katanya jauh lebih berbahaya dari musim dingin nyatanya masih bisa kulalui dengan menikmati pemandangan hangat seperti ini. Kurebahkan tubuhku di kasur. Masih terbayang-bayang di otakku akan kontrak kerja dengan perusahaan. Besok aku harus menemui Laura Lincoln, seorang designer domestik yang cukup terkenal di New York. Kubuka handphoneku. Tak ada satupun sms basa-basi yang masuk terkecuali dari atasanku. Itupun masih berhubungan dengan proyek yang akan kami tangani. MasyaAllah, kenapa tingkat stress yang kualami begitu tinggi. Kuusap-usap kepalaku berkali-kali. Kutengok kalender yang tergeletak manis di meja kerjaku. Juni, 2011. Berapa usiaku saat ini? Aku beranjak untuk berkaca di hadapan cermin. Tak ada satupun kerutan di wajahku. Begitu pula warna kulitku. Tidak berubah. Tubuhku masih tetap langsing dan proporsional. Kemajuan teknologi dapat memperlambat penuaan seorang wanita. Sangat tidak pas apabila aku menjawab sebuah pertanyaan “Berapa usiamu nona?” dengan jawaban, “Tiga puluh dua tahun.” Orang akan berfikir jika usiaku masih berkepala dua. Akan tetapi, bukan itu yang kubanggakan. Ini bukanlah sebuah kebanggaan. Aku masih bertanya-tanya, inikah yang aku inginkan? Menjadi seorang wanita karir, sukses, dan banyak uang? Menjadi wanita cantik, modis, dan menarik perhatian. Apa guna kecantikan jika hanya diagungkan. Hanya decak kagum yang kudapatkan. Berbangga hati, namun sebentar. Ahh… apa kata orang di kampung halamanku yang begitu kolot. Seorang wanita berusia tiga puluh dua tahun belum menikah. Mereka mungkin kagum padaku. Tapi tidak untuk memilihku. Aku dianggap sebagai patung emas yang patut untuk dipuja dan dikagumi semata.
Aku terenyum di depan cermin. Kuingat masa-masa remajaku, dimana aku masih tinggal di kampung. Aku masih memakai jilbab yang tertutup sembari berkaca pada cermin tua peninggalan kakek sebelum berangkat ke masjid. Kupeluk mukena dan Al-Qur’an sembari berpamitan pada ibu. Banyak para santri yang lewat di depan rumahku mengucapkan salam. Aku tersenyum malu untuk menjawab. Apalagi ada seorang santri yang sudah lama aku menaruh hati padanya. Dialah mas Ridwan. Hatiku bergetar hebat kala pria itu tersenyum padaku. Mas Ridwan bukanlah santri biasa. Ia adalah santri kesayangan Kyai Umar. Tutur katanya yang halus dan sopan membuat siapapun yang  berada di dekatnya merasa nyaman. Tatapan matanya yang teduh membuat para gadis terenyuh. Tak jarang para ibu mendambakan seorang menantu seperti dia. Tak terkecuali ibuku.
“Assalamu’alaikum, Madina.”sapanya membuyarkan lamunanku.
“Wa… wa’alaikum salam. Ah, kang Ridwan.”aku gugup.
Ridwan hanya tersenyum dan berlalu. Aku malu setengah mati. Pipiku jadi merah seperti tomat yang matang. Langkahku sedikit goyah. Ya Allah, inikah cinta. Sapaan salamnya menjadi anak panah yang dibusurkan di dada. Tatapannya membuat tubuhku bergetar hingga meruntuhkan keseimbangan tubuhku.
“Ridwan.” namanya kusebut berkali-kali dalam hati. Langkahku semakin bersemangat menuju masjid.
Aku tersenyum sinis pada cermin apartemen. Aku begitu rapuh. kulihat masa laluku yang indah hanya menjadi uap tanpa arah. Kuputar lagi memoriku sembari berjalan menuju tempat tidur.
Waktu itu aku hanya mempunyai satu mimpi sederhana. Menikah. Aku ingin segera menikah di usiaku yang ke tujuh belas. Kuutarakan niatku pada ibu. Ibu pun agaknya menyambut gembira keinginanku. Akan tetapi tak kuutarakan pada siapa aku ingin menikah. Dan tentu saja mas Ridwan. Aku jadi sering membayangkan apabila aku menikah dengannya, aku akan menjadi ibu yang bahagia. Mempunyai keturunan dan setiap hari menunggu suamiku pulang. Apalagi mas Ridwan adalah seorang pegawai negeri dan seorang guru di madrasah aliyah tempatku bersekolah. Sekalipun penghasilannya kecil, banyak wanita yang tertarik padanya. Dia juga mengajarkan tarbiyah di kelasku. Mas Ridwan, andaikan kau pinang aku sekarang, maka akan ku katakan pada ayahku untuk menikahkan aku denganmu segera. Dan ketika mimpiku sedang indah-indahnya, seseorang mengetuk pintu. Alangkah terkejutnya aku kala mas Ridwan yang sedang bertamu. Hatiku bergetar, namun terasa sangat bahagia. Akan tetapi ia tidak sendiri. Ia bersama seorang wanita alim yang cukup kukenal. Mbak Ratih. Guru mengajiku di Masjid.
Mas Ridwan diam saja kala tahu aku yang membukakan pintu. Mbak Ratih tersenyum dan menyalamiku.
“Madina, maaf kami tak bisa lama-lama. Kami hanya mengantarkan ini.”ucapnya lembut sembari menyerahkan sebuah amplop.
Deggg. Jantungku berdegup kencang. Kala mbak Ratih meminta agar amplop itu disampaikan ke ayah dan ibuku, aku mengangguk. Mbak ratih pamit duluan dan menyalamiku. Kemudian mas Ridwan. Aku masih tak mengerti. Tatapan mas Ridwan begitu sayu di mataku. Kututup pintu rumah dan segera kubuka amplop itu. Dan benar dugaanku. Amplop itu adalah undangan pernikahan. Hatiku terasa hancur. Air mataku mengalir dan tak dapat kutahan. Ingin kurobek undangan itu segera. Aku berlari ke kamar dan menuju pintu. Hatiku sangat sakit seperti di hujam palu. Ingin kusalahkan waktu dan Tuhan waktu itu. Begitu juga mas Ridwan. Untuk apa ia selalu tersenyum manis kala menyapaku? Dan untuk apa ia begitu perhatian saat mengajariku? Omong kosong. Impianku pudar. Laki-laki yang amat sangat kucintai akan bersanding dengan perempuan lain. Kutarik jilbabku. Kuremas-remas dan kubuang begitu saja di lantai. Tak ada yang tau. Tak akan ada yang mengerti rasa sakitku. Hanya air mata di wajahku. Hanya sesak nafas di dadaku. Cintaku bertepuk sebelah tangan di kala hatiku sedang indah-indahnya membayangkan. Ya Allah ya Tuhanku, kenapa aku jatuh terlalu cepat. Segera ku ambil gunting di laci meja. Kukeluarkan semua jilbabku dari almari. Entah syaithan apa yang menghasutku hingga kuguntingi semua jilbab yang aku miliki. Aku benar-benar jatuh dalam depressi. Hingga suatu ketika ibuku menemukan kegilaanku, aku tidak lagi memakai jilbab.
“Apa-apaan kau Madina?”teriak ayahku. Aku hanya tersenyum sinis. Ibu berusaha menenangkan ayah. “Perempuan macam apa kau ini? Apa kau mau disamakan dengan perempuan-perempuan pezina?”
“Astagfirullah, bapak!”teriak ibu.
Aku tidak menggubris. Toh aku juga sudah lulus dari madrasah. Aku sudah punya ijasah. Aku sudah memutar haluan hidupku. Aku tidak menginginkan sebuah pernikahan. Aku ingin menjadi seorang perempuan sukses. Ayahku tampak shock.
Benar apa yang kuduga. Ayah pasti akan mengambil jalan menjodohkanku. Aku terang-terangan menolak dan ayahku menampar wajahku. Terpaksa aku mengiyakan. Ia akan menjodohkanku dengan anak seorang saudagar kaya di kota. Namun aku tak kehabisan akal. Aku coba untuk menghubungi kenalanku di Jakarta. Aku meminta tolong padanya berhubung beliau adalah seorang aktivis perempuan. Alhasil usahaku tak sia-sia. Aku kabur ke Jakarta sehari sebelum pernikahanku. Ayahku semakin shock dan terkena stroke. Aku tidak peduli. Aku seolah tak mau peduli lagi dengan semuanya. Aku meninggalkan kampung halaman dan belajar keras demi meraih impianku.
Masih ku ingat, sehari sebelum aku kabur, aku sempat menemui mas Ridwan. Kami bertemu di madrasah.
“Madina, apa yang akan kau lakukan?”tanya mas Ridwan.
Aku tersenyum pahit. “Izinkan aku mengatakan ini sebelum pergi.”
Agaknya mas Ridwan tak mengerti maksudku. Yang ia tau adalah besok aku akan menikah. Aku kabur dari kamar tempatku dipingit. Ingin kuungkapkan perasaanku yang selama ini kupendam.
“Aku mencintaimu mas.”
“Astagfirullah.”sentak mas Ridwan.
“Kenapa? Dosakah perbuatanku? Dosakah aku memendam perasaan itu? Ketahuilah, aku mencintaimu sebelum engkau menikahi mbak Ratih. Aku kira kau juga demikian. Kau selalu memberiku harapan hingga aku selalu bermimpi untuk dapat bersanding denganmu. Salahkah aku mas?”
“Din, aku sudah menikah.”
Air mataku mengalir deras. Aku tahu itu. Dan akupun tak meminta apapun darinya.
“Aku tau. Dan aku sudah menemukan mimpi yang lain untukku. Tak usah khawatir mas.”
Aku berlalu meninggalkan mas Ridwan dan mengambil barang-barangku menuju stasiun. Kuhela nafasku dalam-dalam. Hari ini adalah hari bersejarah dimana kugagalkan semuanya. Kugagalkan impian kedua orang tuaku untuk mendapatkan seorang menantu. Akan tetapi, kegagalan ini adalah jalan awal bagi mereka untuk menghadapi kehidupan yang lebih baik. Itu bagiku. Tak tahu bagi mereka.
Jam dinding terus berdenting. Siang telah menjelma menjadi malam. Hari pun terus-menerus berganti. Tahun demi tahun kulalui, dan tak ku hubungi keluargaku sama sekali. Suatu ketika orang yang pernah mengasuhku di Jakarta bertanya apakah aku ingin mengunjungi kampung halaman. Tentu saja tidak. Aku masih terlalu benci menatap hati dan keinginan terdalamku itu sendiri. Aku membenci cinta yang bertepuk sebelah tangan. Dan aku membenci ayahku. Laki-laki selalu mendapatkan apa yang mereka mau. Mereka menganggap kedudukan mereka jauh lebih tinggi. Walaupun ayahku sudah tiada, aku masih membencinya. Dan tak ada terang di hatiku kala itu. Kenapa dendam membuncah di dalamnya. Aku menangis. Dalam doa aku menangis. Manusia macam apa aku yang hanya karena cinta akupun jatuh. Meski tak sampai terjatuh ke dalam jurang yang dalam.
Setelah mendapatkan pekerjaan sebagai salah satu sekretaris di sebuah perusahaan ternama, aku mulai berhubungan dengan keluargaku. Kakak tertuaku datang ke Jakarta dan memintaku pulang. Aku tidak mau. Hanya kukatakan jika mereka butuh uang, maka hubungi aku. Kenapa aku begitu arogan? Siapakah aku? Aku adalah manusia yang mengejar kesuksesan dengan kebencian. Dan membalas dendam dengan melambai-lambaikan kertas berupa uang.
Senja masih menyinari apartemenku. Aku masih juga duduk terpaku. Menghayati kisahku di masa lalu. Walau sebagian tak terselesaikan, ingin kuperbaiki semua itu. Rasa rinduku pada kampung halaman tak terbendung. Aku menangis. Benar-benar menangis. Air mataku membasahi kerah baju. Entah kenapa aku merasakan kehampaan yang dalam. Sepi, sunyi, tiada siapa-siapa di sisi. Kulihat wajah langit semakin berseri walau gelap sebentar lagi menyelimuti. Kuhapus air mataku. Aku pun tersenyum. Benar, aku harus percaya. Ini bukanlah akhir dari segalanya. Masih ada waktu untuk memperbaiki.

Minggu, 15 Juli 2012 09:44