Pembaca

Minggu, 08 Juni 2014

Prabowo Penjahat, Jokowi Pengkhianat?




Sepertinya bukanlah pilihan yang bijak ketika kita mempunyai kecenderungan dualisme diantara sengitnya perebutan kursi-kursi kekuasaan pada pemilu 2014 ini. Bagaimana tidak? Pertarungan antar kubu pendukung para capres yang memiliki perantara berupa media-media sosial kini semakin mempunyai pengaruh besar bagi publik. Ruang untuk menyalurkan aspirasi berupa opini bernuansa politis yang cukup diminati para pecandu diskusi politik terpaksa mendorong para politikus agar cerdik dalam melakukan pemanfaatan media elektronik. Terutama ketika para pemburu berita mencoba menggali informasi lebih dalam, kemudian menyebarkan informasi tersebut kepada masyarakat agar mereka dapat mengenali pribadi setiap kandidat secara strategis. Meskipun besar kemungkinan dari informasi yang disajikan oleh media massa tertentu banyak mengandung unsur provokasi, para pemegang hak surat suara otomatis akan menentukan pilihan kalkulatifnya untuk ikut menyelaraskan pikiran dengan propaganda media-media mainstream.

Hal ini juga sangat berpengaruh dalam pemilihan calon presiden mendatang. Media mempunyai andil dalam mempengaruhi rasionalitas pakar-pakar politik dalam menentukan analisa ekstrim kemenangan para kandidat. Seperti halnya ketika Joko Widodo akan mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta. Tak ada yang memperhitungkan nama itu sebelumnya. Akan tetapi media berhasil membuat nama Jokowi berkibar karena sukses masuk ke dalam pemilihan putaran kedua, dan kemudian memenangkan seluruh pertarungan yang ada. Nama Jokowi semakin melambung ketika sepak terjangnya selama menjabat sebagai kepala daerah mendapatkan apresiasi luar biasa dari sebagian besar elemen masyarakat Indonesia. Tak heran apabila titik lemah dari Jokowi inipun menjadi bulan-bulanan ketika banyak orang merasa tak puas atau bahkan tersaingi karena gaya kepemimpinan beliau yang berbeda dari pemimpin-pemimpin sebelumnya. Salah satunya adalah ketika beliau mendeklarasikan diri sebagai capres dari PDI-Perjuangan untuk pemilu kali ini. Jokowi seketika mendapatkan label sebagai pemimpin yang rela ‘ingkar janji’ demi mencapai target kekuasaan.

Loyalitas Jokowi terhadap Megawati bisa jadi merupakan satu titik kelemahan yang patut untuk diperbincangkan. Misalnya saja ketika nanti beliau menjadi presiden, Megawati dianggap akan selalu menggenggam kontrol seorang Jokowi. Pemerintahan akan berjalan sesuai dengan apa yang Mega inginkan selama ini. Atau mungkin Jokowi adalah boneka kepentingan yang dicurigai berada di bawah kendali seorang pengusaha besar bernama Jusuf Kalla, mengingat beliaulah yang merekomendasikan nama Jokowi untuk pertama kali kepada PDI-P. Stigma kepentingan begitu tercium pekat, namun itu hanya berlaku bagi mereka yang melegalkan arogansi informasi kontroversial. Siapa lagi kalau bukan penguasa masyarakat sosial yang bernama media massa.

Tak hanya Jokowi, kandidat capres lain yang mendapatkan sorotan tajam adalah Prabowo Subianto. Prabowo dituding terkait dengan beberapa kasus pelanggaran HAM seperti pada tahun 1983 di Timor Timor dan penculikan para aktivis pejuang hak-hak kemanusiaan pro-reformasi sekitar tahun 1997-1998. Prabowo sendiri mengakui bahwa beliaulah yang menjadi pemimpin operasi Tim Mawar dan itu dibenarkan untuk menjaga kestabilan Negara pada rezim kala itu. Akan tetapi Prabowo tidak diadili walaupun sebagian anggota dari Tim Mawar telah melewati proses peradilan.

Kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut sebenarnya tak hanya menyeret nama Prabowo. Wiranto, Sutiyoso, dan presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebenarnya memiliki indikasi keterlibatan atas kejadian tersebut. Sehingga bisa muncul sebuah dugaan bahwa pemerintahan SBY kali ini tak akan pernah mampu menguak kasus tersebut. Nama baik presiden akan tercemar dan akan muncul kekacauan baru di dalam pemerintahan. Prabowo masih bisa selamat dari peradilan dalam hal ini. Begitu juga kasus insubordinasi yang terjadi di kediaman mantan presiden Habibie. Menurut kesaksian beliau, Prabowo adalah orang yang memprakarsai tentara untuk melakukan kudeta. Padahal sebenarnya yang memerintahkan untuk mengawal ke rumah Habibie kala itu adalah Wiranto. Nama Prabowo lagi-lagi dipertaruhkan, terlebih lagi mendekati masa kampanye capres tahun ini.

Terkait dengan hal-hal yang dinyatakan oleh beberapa elemen masyarakat, terutama ‘komnas HAM’, tindakan yang dilakukan oleh Prabowo dkk. adalah sebuah kejahatan. Prabowo pantas dikatakan sebagai penjahat. Jasa-jasanya dalam pembebasan beberapa sandera di daerah timur seolah kabur ketika beliau harus menjalankan amanat pemerintahan. Namanya terus menerus dikuliti oleh rasa dendam orang-orang yang menuntut keadilan. Pertanyaannya, benarkah Prabowo hanya ingin melenggang di kursi pemerintahan hanya dengan tangan kosong demi kekuasaan? Ataukah ada hal lain yang bisa beliau berikan mengingat tawaran program-program ekonomi yang dicanangkan oleh Prabowo dan partainya cukup menarik dan rasional. Haruskah kita berkutat pada dendam, sementara masyarakat menginginkan perubahan? Jawabannya kembali pada diri kita masing-masing.

Media kini telah berhasil menciptakan sebuah stigma yang diperkuat dengan isu-isu provokatif terhadap Prabowo dan Jokowi. Padahal jika ditelisik, keduanya adalah capres yang memiliki potensi luar biasa untuk melakukan perubahan terhadap Indonesia. Sesuai dengan perbandingan beberapa capres yang tersedia menurut beberapa survey, elektabilitas keduanya sulit untuk ditandingi.

Jokowi mungkin telah ingkar janji dan berkhianat akan kepemimpinannya untuk Jakarta. Atau bahkan Jokowi adalah orang yang berjalan di atas kepentingan Megawati dan Jusuf Kalla. Tapi cobalah berkaca pada pemerintahan sebelumnya. Koruptor adalah pengkhianat yang sesungguhnya. Manis di muka, tapi busuk pada akhir cerita. Mereka berjalan di atas kepentingan sebagian besar konglomerat Negara yang belum tentu baiknya. Terutama para koruptor berkedok agama. Dengan bangga mereka merapal ayat suci disamping harga-harga bahan pokok yang melambung tinggi hingga tak dapat dijangkau masyarakat. Megawati dan Jusuf Kalla masih berdiri sebagai Negarawan sejati yang menginginkan perubahan bangsa. Begitu juga kepada Prabowo. Hendaknya kita berpikir bahwasanya sistem perekonomian yang kelak akan beliau bawa mampu mencakup pemerataan dalam masyarakat dan menghapuskan klaim-klaim kesejahteraan ekonomi neo-liberalisme. Indonesia juga masih membutuhkan wibawa militer sehingga kemungkinan Prabowo dapat membawanya kembali ketika ia menjadi seorang pemimpin. Negara kita akan menjadi Negara yang cukup ditakuti. Masih ingat bukan dengan pembunuhan salah satu anggota Kopassus secara keroyokan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab? Dan pada akhirnya pelecehan terhadap simbol-simbol Negara tersebut berakhir tragis sebagai kasus pelanggaran HAM berat. Inilah bentuk ketidaksiapan kita menjadi Negara yang benar-benar berdaulat. Harapan kosong sudah menghantui di depan mata apabila kita terus menerus mempertahankan ego idealisme pribadi. Prabowo dan Jokowi adalah segelintir pengaruh dari hitam putihnya proses pendewasaan demokrasi di Negara ini. Selebihnya akan kembali pada Rakyat Indonesia sebagai penentu masa depan bangsa.
(Agk)


03 April 2014 | 11:41


Tidak ada komentar:

Posting Komentar