Sepertinya bukanlah pilihan yang bijak ketika kita mempunyai
kecenderungan dualisme diantara sengitnya perebutan kursi-kursi kekuasaan pada
pemilu 2014 ini. Bagaimana tidak? Pertarungan antar kubu pendukung para capres
yang memiliki perantara berupa media-media sosial kini semakin mempunyai
pengaruh besar bagi publik. Ruang untuk menyalurkan aspirasi berupa opini
bernuansa politis yang cukup diminati para pecandu diskusi politik terpaksa
mendorong para politikus agar cerdik dalam melakukan pemanfaatan media
elektronik. Terutama ketika para pemburu berita mencoba menggali informasi
lebih dalam, kemudian menyebarkan informasi tersebut kepada masyarakat agar
mereka dapat mengenali pribadi setiap kandidat secara strategis. Meskipun besar
kemungkinan dari informasi yang disajikan oleh media massa tertentu banyak
mengandung unsur provokasi, para pemegang hak surat suara otomatis akan
menentukan pilihan kalkulatifnya untuk ikut menyelaraskan pikiran dengan
propaganda media-media mainstream.
Hal ini juga sangat berpengaruh dalam pemilihan calon presiden
mendatang. Media mempunyai andil dalam mempengaruhi rasionalitas pakar-pakar
politik dalam menentukan analisa ekstrim kemenangan para kandidat. Seperti
halnya ketika Joko Widodo akan mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Tak ada yang memperhitungkan nama itu sebelumnya. Akan tetapi media berhasil
membuat nama Jokowi berkibar karena sukses masuk ke dalam pemilihan putaran
kedua, dan kemudian memenangkan seluruh pertarungan yang ada. Nama Jokowi
semakin melambung ketika sepak terjangnya selama menjabat sebagai kepala daerah
mendapatkan apresiasi luar biasa dari sebagian besar elemen masyarakat
Indonesia. Tak heran apabila titik lemah dari Jokowi inipun menjadi
bulan-bulanan ketika banyak orang merasa tak puas atau bahkan tersaingi karena
gaya kepemimpinan beliau yang berbeda dari pemimpin-pemimpin sebelumnya. Salah
satunya adalah ketika beliau mendeklarasikan diri sebagai capres dari
PDI-Perjuangan untuk pemilu kali ini. Jokowi seketika mendapatkan label sebagai
pemimpin yang rela ‘ingkar janji’ demi mencapai target kekuasaan.
Loyalitas Jokowi terhadap Megawati bisa jadi merupakan satu titik
kelemahan yang patut untuk diperbincangkan. Misalnya saja ketika nanti beliau
menjadi presiden, Megawati dianggap akan selalu menggenggam kontrol seorang
Jokowi. Pemerintahan akan berjalan sesuai dengan apa yang Mega inginkan selama
ini. Atau mungkin Jokowi adalah boneka kepentingan yang dicurigai berada di
bawah kendali seorang pengusaha besar bernama Jusuf Kalla, mengingat beliaulah
yang merekomendasikan nama Jokowi untuk pertama kali kepada PDI-P. Stigma
kepentingan begitu tercium pekat, namun itu hanya berlaku bagi mereka yang
melegalkan arogansi informasi kontroversial. Siapa lagi kalau bukan penguasa
masyarakat sosial yang bernama media massa.
Tak hanya Jokowi, kandidat capres lain yang mendapatkan sorotan tajam
adalah Prabowo Subianto. Prabowo dituding terkait dengan beberapa kasus
pelanggaran HAM seperti pada tahun 1983 di Timor Timor dan penculikan para
aktivis pejuang hak-hak kemanusiaan pro-reformasi sekitar tahun 1997-1998.
Prabowo sendiri mengakui bahwa beliaulah yang menjadi pemimpin operasi Tim
Mawar dan itu dibenarkan untuk menjaga kestabilan Negara pada rezim kala itu.
Akan tetapi Prabowo tidak diadili walaupun sebagian anggota dari Tim Mawar
telah melewati proses peradilan.
Kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut sebenarnya tak hanya menyeret nama
Prabowo. Wiranto, Sutiyoso, dan presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebenarnya
memiliki indikasi keterlibatan atas kejadian tersebut. Sehingga bisa muncul
sebuah dugaan bahwa pemerintahan SBY kali ini tak akan pernah mampu menguak
kasus tersebut. Nama baik presiden akan tercemar dan akan muncul kekacauan baru
di dalam pemerintahan. Prabowo masih bisa selamat dari peradilan dalam hal ini.
Begitu juga kasus insubordinasi yang terjadi di kediaman mantan presiden
Habibie. Menurut kesaksian beliau, Prabowo adalah orang yang memprakarsai
tentara untuk melakukan kudeta. Padahal sebenarnya yang memerintahkan untuk
mengawal ke rumah Habibie kala itu adalah Wiranto. Nama Prabowo lagi-lagi
dipertaruhkan, terlebih lagi mendekati masa kampanye capres tahun ini.
Terkait dengan hal-hal yang dinyatakan oleh beberapa elemen masyarakat,
terutama ‘komnas HAM’, tindakan yang dilakukan oleh Prabowo dkk. adalah sebuah
kejahatan. Prabowo pantas dikatakan sebagai penjahat. Jasa-jasanya dalam
pembebasan beberapa sandera di daerah timur seolah kabur ketika beliau harus
menjalankan amanat pemerintahan. Namanya terus menerus dikuliti oleh rasa
dendam orang-orang yang menuntut keadilan. Pertanyaannya, benarkah Prabowo
hanya ingin melenggang di kursi pemerintahan hanya dengan tangan kosong demi
kekuasaan? Ataukah ada hal lain yang bisa beliau berikan mengingat tawaran
program-program ekonomi yang dicanangkan oleh Prabowo dan partainya cukup
menarik dan rasional. Haruskah kita berkutat pada dendam, sementara masyarakat
menginginkan perubahan? Jawabannya kembali pada diri kita masing-masing.
Media kini telah berhasil menciptakan sebuah stigma yang diperkuat
dengan isu-isu provokatif terhadap Prabowo dan Jokowi. Padahal jika ditelisik,
keduanya adalah capres yang memiliki potensi luar biasa untuk melakukan
perubahan terhadap Indonesia. Sesuai dengan perbandingan beberapa capres yang
tersedia menurut beberapa survey, elektabilitas keduanya sulit untuk
ditandingi.
Jokowi mungkin telah ingkar janji dan berkhianat akan kepemimpinannya
untuk Jakarta. Atau bahkan Jokowi adalah orang yang berjalan di atas
kepentingan Megawati dan Jusuf Kalla. Tapi cobalah berkaca pada pemerintahan
sebelumnya. Koruptor adalah pengkhianat yang sesungguhnya. Manis di muka, tapi
busuk pada akhir cerita. Mereka berjalan di atas kepentingan sebagian besar
konglomerat Negara yang belum tentu baiknya. Terutama para koruptor berkedok
agama. Dengan bangga mereka merapal ayat suci disamping harga-harga bahan pokok
yang melambung tinggi hingga tak dapat dijangkau masyarakat. Megawati dan Jusuf
Kalla masih berdiri sebagai Negarawan sejati yang menginginkan perubahan
bangsa. Begitu juga kepada Prabowo. Hendaknya kita berpikir bahwasanya sistem
perekonomian yang kelak akan beliau bawa mampu mencakup pemerataan dalam
masyarakat dan menghapuskan klaim-klaim kesejahteraan ekonomi neo-liberalisme.
Indonesia juga masih membutuhkan wibawa militer sehingga kemungkinan Prabowo
dapat membawanya kembali ketika ia menjadi seorang pemimpin. Negara kita akan
menjadi Negara yang cukup ditakuti. Masih ingat bukan dengan pembunuhan salah
satu anggota Kopassus secara keroyokan oleh orang-orang yang tak bertanggung
jawab? Dan pada akhirnya pelecehan terhadap simbol-simbol Negara tersebut
berakhir tragis sebagai kasus pelanggaran HAM berat. Inilah bentuk
ketidaksiapan kita menjadi Negara yang benar-benar berdaulat. Harapan kosong
sudah menghantui di depan mata apabila kita terus menerus mempertahankan ego
idealisme pribadi. Prabowo dan Jokowi adalah segelintir pengaruh dari hitam
putihnya proses pendewasaan demokrasi di Negara ini. Selebihnya akan kembali
pada Rakyat Indonesia sebagai penentu masa depan bangsa.
(Agk)
03 April 2014 | 11:41
Tidak ada komentar:
Posting Komentar