Pembaca

Minggu, 08 Juni 2014

Kebencian Pada Jokowi-Ahok dan Menguatnya Eksistensi Radikalis Pluralisme






Istilah toleransi memang terkadang menjadi polemik tersendiri ketika dikaitkan dengan kehidupan antar umat beragama. Adanya suatu pemahaman yang mengkultuskan bahwa dengan bersikap toleran akan sedikit banyak berpengaruh pada pergeseran akidah membuat banyak kaum agamawan bersikukuh memperketat batas-batas toleransi. Padahal sejatinya jika kita mau berpikir mengenai batas, tidak ada batas tertentu untuk memaklumi kemajemukan yang ada. Batas tersebut terletak pada keyakinan yang tertanam dalam diri manusia itu sendiri. Adanya pembatasan dalam konteks pengendalian diri ini sebenarnya telah menunjukkan bahwa setiap manusia selalu berpikir bebas sesuai dengan yang dikehendaki. Penentangan konsep liberalisme dalam berpikir pun sebenarnya semakin menunjukkan bahwa tidak ada manusia yang berpikir tanpa kebebasan.

Misalnya dalam toleransi antar ras. Keyakinan terhadap kedudukan ras yang dirasa paling tinggi diantara ras-ras lain akan menyebabkan kesenjangan sosial ketika mereka hidup dalam dinamika masyarakat plural. Masyarakat yang berjiwa pluralis tidak menghendaki penghakiman segala sesuatu berdasarkan kebenaran mutlak suatu kaum. Namun akan sangat menjunjung tinggi kearifan lokal apabila berada diantara masyarakat wilayah tertentu. Inilah cara pandang horizontal yang harus diketahui banyak orang. Pandangan horizontal ini bermakna pada kesetaraan suatu ras dengan ras lainnya. Perbedaan horizontal tidak bisa dijadikan pembanding mana yang baik dan mana yang tidak karena memang setiap ras mempunyai ciri khas sendiri-sendiri. Kalau Anda perhatikan tentang sejarah manusia, semua orang atau setiap individu sebenarnya berasal dari Afrika. Kemudian mereka menyebar ke seluruh dunia membentuk ras yang beragam. Etnik-etnik yang ada di Indonesia pun hampir semua berasal dari daerah Yunan atau Cina bagian selatan. Sehingga kesetaraan itu semakin nyata terlihat karena asal muasal nenek moyang yang jelas sama.

Dalam memaknai istilah pluralisme sejatinya kita harus memiliki pemikiran yang luas. Apabila tidak, maka akan muncul fitnah dan spekulasi perpecahan dimana pergusuran keyakinan terutama masalah agama ditekankan di sini. Pluralisme agama sebagian besar dimaknai dengan keyakinan kata semua agama adalah benar secara mentah. Karena itulah kenapa para penganut paham seperti ini akan seenaknya berpindah-pindah agama sesuai dengan mood, style, atau alasan yang lain. Pembenaran ini didasari oleh jiwa humanis yang sangat tinggi, akan tetapi mereka telah kehilangan makna dari pemahaman konsep ketuhanan. Ada juga motif tertentu dalam perpindahan agama yang terjadi justru karena tingginya pemahaman seseorang dalam pemikirannya terhadap eksistensi Tuhan. Teori ketuhanan dan kemanusian yang berimbang akan memunculkan pencarian-pencarian kebenaran pada manusia yang mau berpikir sampai mereka menemukan titik benar yang mereka cari. Tidak ada paksaan dalam beragama.

Jika ditanya “lalu bagaimanakah cara memaknai pluralisme agama secara tepat?”, saya akan menjawab bahwa perkataan ‘semua agama adalah benar’ tidaklah salah. Semua agama adalah benar dari perspektif kebenaran masing-masing individu dan perspektif keilahian itu sendiri. Agama Islam benar menurut orang-orang islam. Agama Yahudi benar menurut orang-orang Yahudi. Agama Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan lain-lain adalah benar menurut para penganutnya. Bahkan untuk isme-isme dan ideologi-ideologi lain juga berlaku prinsip yang sama bahwa ideologi dan isme, termasuk keyakinan agama, prinsip, budaya, dan peradaban yang jika Anda mampu memahami semua itu maka atheisme sekalipun adalah isme yang benar menurut para peyakinnya. Persoalan keimanan adalah sesuatu yang intrinsik, unik, dan individual berdasarkan pada kondisi-kondisi yang tidak sama antara satu orang dengan orang lainnya. Artinya keimanan itu tidak bisa tampak atau terlihat hanya dari pernyataan dan aktivitas seorang individu. Karena tidak ada seorang pun yang akan tahu apa-apa yang sudah terjadi di dalam jiwa dan pikiran seseorang. Jadi ada dua pemaknaan di dalam istilah pluralisme. Disinilah pentingnya kita memahami konsep dasar agama dan ketuhanan secara baik dan benar.

Pluralisme tidak akan pernah berhenti berkiprah sebagai isu yang memicu banyak perdebatan. Penentang konsep pluralisme sendiri kebanyakan berasal dari kaum radikalis agama. Mencuatnya tokoh-tokoh yang diberi label liberal oleh para radikalis agama seperti Cak Nur, Achmad Dahlan, Bung Karno, Soeharto, Habibie, Jusuf Kalla, Mahfud MD, Hamka, Gus Dur, Kang Jalal dan sebagainya telah menunjukkan adanya gerakan toleransi yang benar berdasarkan pemikiran-pemikiran brilian mereka. Jokowi-Ahok kemudian muncul sebagai trade mark kehidupan masyarakat plural. Mereka begitu membumi dan secara perlahan menggerus paham radikalisme agama yang meracuni masyarakat. Eksistensi kekuatan radikalis pluralisme ini telah membuat banyak penentangnya kebakaran jenggot. Stempel sesat dan kafir seolah menjadi jurus terakhir bagi mereka sebagai bagian dari pembunuhan karakter. Para radikalis agama akan sangat membenci kemajuan pluralisme, apalagi melihat kiprahnya di dunia politik mendapat dukungan khalayak luas. Kebencian itu ditunjukkan dengan munculnya kampanye hitam serta adanya indikasi pelengseran Jokowi dari jabatannya sebagai Gubernur Jakarta. Mereka akan menghalalkan segala cara dengan pemahaman bahwa ketika dalam keadaan darurat maka membunuh, korupsi, penyelewengan, dan gratifikasi seks adalah suatu kebenaran. Tidak ada dosa dalam kondisi darurat. Dan semua pemahaman itu adalah racun yang harus dicarikan penetralnya.

Inilah kehidupan. Tidak ada kebaikan tanpa adanya kejahatan. Tidak ada kebenaran tanpa adanya kesesatan. Tidak ada keimanan tanpa adanya kekafiran. Kaum radikalis agama, ras, budaya, dan pluralism sebenarnya ada karena hidup ini membutuhkan titik keseimbangan. Tidak ada toleran tanpa intoleran. Semua akan berperang demi tegaknya eksistensi pemahaman masing-masing. Bahkan tanpa anda sadari sebenarnya ada perbedaan nyata antara toleransi dan radikalis toleransi. Salah satu contoh toleransi yang murni dapat kita ambil dari masyarakat ‘Jawa Stagnan’. Mereka tidak akan mempersoalkan pemahaman apapun yang bermunculan di sekitar mereka, termasuk pemahaman yang radikal. Intinya ‘Sak Karepmu’ (terserah anda). Berbeda dengan para radikalis toleransi yang secara terang-terangan ingin menghapuskan segala bentuk intoleransi sehingga terciptalah kedamaian yang nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

27 May 2013 | 11:38

Prabowo Penjahat, Jokowi Pengkhianat?




Sepertinya bukanlah pilihan yang bijak ketika kita mempunyai kecenderungan dualisme diantara sengitnya perebutan kursi-kursi kekuasaan pada pemilu 2014 ini. Bagaimana tidak? Pertarungan antar kubu pendukung para capres yang memiliki perantara berupa media-media sosial kini semakin mempunyai pengaruh besar bagi publik. Ruang untuk menyalurkan aspirasi berupa opini bernuansa politis yang cukup diminati para pecandu diskusi politik terpaksa mendorong para politikus agar cerdik dalam melakukan pemanfaatan media elektronik. Terutama ketika para pemburu berita mencoba menggali informasi lebih dalam, kemudian menyebarkan informasi tersebut kepada masyarakat agar mereka dapat mengenali pribadi setiap kandidat secara strategis. Meskipun besar kemungkinan dari informasi yang disajikan oleh media massa tertentu banyak mengandung unsur provokasi, para pemegang hak surat suara otomatis akan menentukan pilihan kalkulatifnya untuk ikut menyelaraskan pikiran dengan propaganda media-media mainstream.

Hal ini juga sangat berpengaruh dalam pemilihan calon presiden mendatang. Media mempunyai andil dalam mempengaruhi rasionalitas pakar-pakar politik dalam menentukan analisa ekstrim kemenangan para kandidat. Seperti halnya ketika Joko Widodo akan mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta. Tak ada yang memperhitungkan nama itu sebelumnya. Akan tetapi media berhasil membuat nama Jokowi berkibar karena sukses masuk ke dalam pemilihan putaran kedua, dan kemudian memenangkan seluruh pertarungan yang ada. Nama Jokowi semakin melambung ketika sepak terjangnya selama menjabat sebagai kepala daerah mendapatkan apresiasi luar biasa dari sebagian besar elemen masyarakat Indonesia. Tak heran apabila titik lemah dari Jokowi inipun menjadi bulan-bulanan ketika banyak orang merasa tak puas atau bahkan tersaingi karena gaya kepemimpinan beliau yang berbeda dari pemimpin-pemimpin sebelumnya. Salah satunya adalah ketika beliau mendeklarasikan diri sebagai capres dari PDI-Perjuangan untuk pemilu kali ini. Jokowi seketika mendapatkan label sebagai pemimpin yang rela ‘ingkar janji’ demi mencapai target kekuasaan.

Loyalitas Jokowi terhadap Megawati bisa jadi merupakan satu titik kelemahan yang patut untuk diperbincangkan. Misalnya saja ketika nanti beliau menjadi presiden, Megawati dianggap akan selalu menggenggam kontrol seorang Jokowi. Pemerintahan akan berjalan sesuai dengan apa yang Mega inginkan selama ini. Atau mungkin Jokowi adalah boneka kepentingan yang dicurigai berada di bawah kendali seorang pengusaha besar bernama Jusuf Kalla, mengingat beliaulah yang merekomendasikan nama Jokowi untuk pertama kali kepada PDI-P. Stigma kepentingan begitu tercium pekat, namun itu hanya berlaku bagi mereka yang melegalkan arogansi informasi kontroversial. Siapa lagi kalau bukan penguasa masyarakat sosial yang bernama media massa.

Tak hanya Jokowi, kandidat capres lain yang mendapatkan sorotan tajam adalah Prabowo Subianto. Prabowo dituding terkait dengan beberapa kasus pelanggaran HAM seperti pada tahun 1983 di Timor Timor dan penculikan para aktivis pejuang hak-hak kemanusiaan pro-reformasi sekitar tahun 1997-1998. Prabowo sendiri mengakui bahwa beliaulah yang menjadi pemimpin operasi Tim Mawar dan itu dibenarkan untuk menjaga kestabilan Negara pada rezim kala itu. Akan tetapi Prabowo tidak diadili walaupun sebagian anggota dari Tim Mawar telah melewati proses peradilan.

Kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut sebenarnya tak hanya menyeret nama Prabowo. Wiranto, Sutiyoso, dan presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebenarnya memiliki indikasi keterlibatan atas kejadian tersebut. Sehingga bisa muncul sebuah dugaan bahwa pemerintahan SBY kali ini tak akan pernah mampu menguak kasus tersebut. Nama baik presiden akan tercemar dan akan muncul kekacauan baru di dalam pemerintahan. Prabowo masih bisa selamat dari peradilan dalam hal ini. Begitu juga kasus insubordinasi yang terjadi di kediaman mantan presiden Habibie. Menurut kesaksian beliau, Prabowo adalah orang yang memprakarsai tentara untuk melakukan kudeta. Padahal sebenarnya yang memerintahkan untuk mengawal ke rumah Habibie kala itu adalah Wiranto. Nama Prabowo lagi-lagi dipertaruhkan, terlebih lagi mendekati masa kampanye capres tahun ini.

Terkait dengan hal-hal yang dinyatakan oleh beberapa elemen masyarakat, terutama ‘komnas HAM’, tindakan yang dilakukan oleh Prabowo dkk. adalah sebuah kejahatan. Prabowo pantas dikatakan sebagai penjahat. Jasa-jasanya dalam pembebasan beberapa sandera di daerah timur seolah kabur ketika beliau harus menjalankan amanat pemerintahan. Namanya terus menerus dikuliti oleh rasa dendam orang-orang yang menuntut keadilan. Pertanyaannya, benarkah Prabowo hanya ingin melenggang di kursi pemerintahan hanya dengan tangan kosong demi kekuasaan? Ataukah ada hal lain yang bisa beliau berikan mengingat tawaran program-program ekonomi yang dicanangkan oleh Prabowo dan partainya cukup menarik dan rasional. Haruskah kita berkutat pada dendam, sementara masyarakat menginginkan perubahan? Jawabannya kembali pada diri kita masing-masing.

Media kini telah berhasil menciptakan sebuah stigma yang diperkuat dengan isu-isu provokatif terhadap Prabowo dan Jokowi. Padahal jika ditelisik, keduanya adalah capres yang memiliki potensi luar biasa untuk melakukan perubahan terhadap Indonesia. Sesuai dengan perbandingan beberapa capres yang tersedia menurut beberapa survey, elektabilitas keduanya sulit untuk ditandingi.

Jokowi mungkin telah ingkar janji dan berkhianat akan kepemimpinannya untuk Jakarta. Atau bahkan Jokowi adalah orang yang berjalan di atas kepentingan Megawati dan Jusuf Kalla. Tapi cobalah berkaca pada pemerintahan sebelumnya. Koruptor adalah pengkhianat yang sesungguhnya. Manis di muka, tapi busuk pada akhir cerita. Mereka berjalan di atas kepentingan sebagian besar konglomerat Negara yang belum tentu baiknya. Terutama para koruptor berkedok agama. Dengan bangga mereka merapal ayat suci disamping harga-harga bahan pokok yang melambung tinggi hingga tak dapat dijangkau masyarakat. Megawati dan Jusuf Kalla masih berdiri sebagai Negarawan sejati yang menginginkan perubahan bangsa. Begitu juga kepada Prabowo. Hendaknya kita berpikir bahwasanya sistem perekonomian yang kelak akan beliau bawa mampu mencakup pemerataan dalam masyarakat dan menghapuskan klaim-klaim kesejahteraan ekonomi neo-liberalisme. Indonesia juga masih membutuhkan wibawa militer sehingga kemungkinan Prabowo dapat membawanya kembali ketika ia menjadi seorang pemimpin. Negara kita akan menjadi Negara yang cukup ditakuti. Masih ingat bukan dengan pembunuhan salah satu anggota Kopassus secara keroyokan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab? Dan pada akhirnya pelecehan terhadap simbol-simbol Negara tersebut berakhir tragis sebagai kasus pelanggaran HAM berat. Inilah bentuk ketidaksiapan kita menjadi Negara yang benar-benar berdaulat. Harapan kosong sudah menghantui di depan mata apabila kita terus menerus mempertahankan ego idealisme pribadi. Prabowo dan Jokowi adalah segelintir pengaruh dari hitam putihnya proses pendewasaan demokrasi di Negara ini. Selebihnya akan kembali pada Rakyat Indonesia sebagai penentu masa depan bangsa.
(Agk)


03 April 2014 | 11:41


Kesaktian Pancasila di Antara Gencarnya Gerakan Penolakan Terhadap Eksistensi NKRI



“Selama undang-undang tidak bertentangan dengan (hukum) Islam, itu sudah bisa disebut islami. Artinya tanpa menjadikan Indonesia negara Islam, undang-undang yang diberlakukan sudah islami,” Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siradj, M.A

Membuka kembali catatan sejarah bangsa ini tak dapat dipungkiri telah membuat semangat patriotisme di dalam dada bergetar lebih hebat dari pada biasanya. Selama lebih dari tiga setengah abad pemerintahan kolonialisme Belanda menjajah Indonesia dan tiga setengah tahun tentara Jepang juga berusaha untuk menjajah dengan penindasan yang tak kalah kejamnya. Perjuangan para pahlawan dalam melawan para penjajah yang hanya dilengkapi dengan keterbatasan persenjataan tersebut justru semakin menguatkan kobaran semangat untuk mencapai kemerdekaan pada masa itu. Seiring dengan berjalannya waktu, keberpihakan terhadap kebebasan untuk membentuk Negara berdaulat telah berhasil diwujudkan. Indonesia kini menjadi Negara Kesatuan yang merdeka tanpa campur tangan kedaulatan dari pihak asing.

Namun bukan berarti tak ada lagi masalah yang kembali menerpa bangsa Indonesia setelah memproklamirkan kedaulatan diri sebagai Negara yang merdeka. Banyak Negara-Negara bekas penjajah yang masih merasa berhak atas tanah di bumi Nusantara. Mereka saling berebut untuk menguasai wilayah bekas jajahannya lagi. Termasuk ketika bangsa ini menghadapi peristiwa mengerikan sebagai dampak dari pijakan pencarian dukungan perang dingin antara liberalis dan komunis dalam kengerian perang dunia. Propaganda-propaganda rencana penculikan dengan dalih pemberantasan komunisme di Indonesia semakin marak karena unsur politis lebih dikedepankan daripada kepentingan penyelamatan Negara. Peristiwa tersebut pada akhirnya melahirkan bentuk prasasti bersejarah dengan nama G30S/PKI.

Peristiwa yang menjadi latar belakang diperingatinya tanggal 1 Oktober sebagai hari kesaktian Pancasila ini memang sebuah konstruksi sosial atas kemampuan bangsa Indonesia untuk memenangkan pertarungan melawan pemberontakan PKI yang ingin merubah idealisme NKRI dengan ideologi komunisme. Kegagalan  kaum komunis untuk mengubah konsep dasar negara melalui Gerakan 30 September yang menewaskan pahlawan revolusi, antara lain A. Yani, D.I. Panjaitan, M. T. Haryono, Sutoyo, dan lain-lain menjadikan peristiwa Gerakan 30 September 1965 sebagai peristiwa sejarah yang tidak boleh dilupakan atas nama HAM, demokratisasi dan reformasi. Reformasi mungkin tidak akan bisa mengubah kejadian pemberontakan PKI di Madiun, sebuah pemberontakan yang dilakukan oleh PKI pada tahun 1965. Banyak orang pula yang beramai-ramai menyusun sejarah bantahan terhadap peristiwa Gerakan 30 September 1965. Walaupun demikian, harus tetap kita diyakini bahwa PKI telah melakukan makar terhadap pemerintah Republik Indonesia, NKRI yang memiliki dasar ideologi Pancasila.

Berbeda dengan kasus G30S/PKI yang terjadi pada era sebelum reformasi, kekhawatiran akan munculnya penolakan tehadap ideologi Pancasila kini telah merambah pada terbentuknya organisasi-organisasi yang mengancam keutuhan bangsa dan Negara. Organisasi-organisasi tersebut antara lain OPM, GAM, NII, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), dan masih banyak lagi.

MMI dan FPI mungkin tidak secara terang-terangan menyatakan penolakan terhadap NKRI. Namun kegiatan-kegiatan yang berpacu dalam organisasi-organisasi tersebut telah mengarah pada rencana pembentukan Negara Islam yang notabennya sangat bertentangan dengan kemajemukan di Indonesia. Padahal organisasi Islam yang terkemuka seperti NU dan Muhammadiyah saja mendukung asas keberagaman Pancasila sebagai bagian dari upaya pemersatu bangsa. Pihak NU sendiri tetap konsisten menegakkan empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu Negara Kesatuan RI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Upaya pendiskreditan Pancasila oleh kelompok-kelompok anti-NKRI kini terus menerus digencarkan baik melalui pertemuan-pertemuan terselubung seperti pengajian, situs di internet, serta selebaran-selebaran yang mengandung aroma doktrin atas nama agama. Seperti kutipan dalam situs muslimdaily.net yang menghina keberadaan lambang Garuda sebagai lambang Negara Indonesia.

“Agama Islam sendiri sebagai agama mayoritas rakyat Indonesia setelah era Hindu juga tidak mengenal simbol ‘burung Garuda’. ‘Burung Garuda’ juga tidak pernah benar-benar ada karena hanya sebuah mitos, berbeda dengan burung elang botak yang merupakan binatang asli Amerika. Karena bukan simbol asli bangsa Indonesia maka tidak ada lain simbol ‘burung Garuda’ mengadopsi simbol-simbol kebudayaan asing yang memang memuja-muja simbol ‘burung mirip Garuda’, yaitu Yahudi yang gerakan Fremasonry-nya sangat berpengaruh sampai saat ini.” (kutipan muslimdaily.net)

“Orang-orang yang merancang simbol ‘burung Garuda’ sebagai simbol negara adalah Sultan Hamid II, Ki Hajar Dewantoro dan Muhammad Yamin. Ketiganya adalah pengikut gerakan Vrijmeselarij dan Theosofi. Sedangkan Presiden Soekarno yang menetapkan simbol ‘burung Garuda’ sebagai lambang negara juga berada dalam pengaruh Fremasonry melalui ayahnya yang merupakan anggota Perhimpunan Theosofi Surabaya.” (kutipan muslimdaily.net)

Perlu diketahui bahwa pengaruh aliran-aliran ekstrimis yang tidak setuju dengan keberadaan Pancasila sebenarnya didasari oleh kepentingan satu golongan saja. Mereka tidak menyadari bahwa rakyat Indonesia terdiri dari berbagai macam golongan ras dan agama yang berbeda. Pancasila dan kesaktiannya telah mampu mempersatukan seluruh elemen masyarakat dengan refleksi konstitusi yang dituangkan dalam pembukaan UUD 1945. Melalui hari Kesaktian Pancasila sekarang ini, mari mencoba untuk menggali kembali makna mendalam Pancasila sebagai ideologi bangsa, dasar hukum, dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk ditanamkan ke dalam diri dan sanubari, sehingga kelak seluruh elemen masyarakat dapat menjadi generasi bangsa yang mempunyai wawasan kebangsaan dan nasionalisme tinggi. Supaya di kemudian hari para generasi penerus bangsa tidak mudah terjebak pada tindakan menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan seperti PKI dan organisasi-organisasi semacamnya.

Hari Kesaktian Pancasila bukan hanya dimaknai dalam arti mitologi bahwa karena kesaktiannya Pancasila mampu menggagalkan rencana PKI untuk menguasai Negara dengan Ideologi komunis. Akan tetapi jadikan hari tersebut sebagai wahana pendidikan bagi anak-anak didik bangsa Indonesia untuk melaksanakan nilai-nilai Pancasila secara murni dan konsukuen dengan semangat belajar dan prestasi. Ada tiga prinsip yang harus ditanamkan pada menurut Presiden Soekarno yang sering disebut dengan Trisakti. Pertama adalah sakti dalam berbudaya dan berkepribadian. Kedua, sakti dalam bidang ekonomi yaitu berdiri di atas kaki sendiri (berdikari). Dan ketiga adalah sakti dalam berdaulat dan menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mari kita wujudkan kehidupan yang damai, aman, dan tentram sesuai dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. -agk-


01 October 2013 | 11:13