Pembaca

Minggu, 08 Juni 2014

Kesaktian Pancasila di Antara Gencarnya Gerakan Penolakan Terhadap Eksistensi NKRI



“Selama undang-undang tidak bertentangan dengan (hukum) Islam, itu sudah bisa disebut islami. Artinya tanpa menjadikan Indonesia negara Islam, undang-undang yang diberlakukan sudah islami,” Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siradj, M.A

Membuka kembali catatan sejarah bangsa ini tak dapat dipungkiri telah membuat semangat patriotisme di dalam dada bergetar lebih hebat dari pada biasanya. Selama lebih dari tiga setengah abad pemerintahan kolonialisme Belanda menjajah Indonesia dan tiga setengah tahun tentara Jepang juga berusaha untuk menjajah dengan penindasan yang tak kalah kejamnya. Perjuangan para pahlawan dalam melawan para penjajah yang hanya dilengkapi dengan keterbatasan persenjataan tersebut justru semakin menguatkan kobaran semangat untuk mencapai kemerdekaan pada masa itu. Seiring dengan berjalannya waktu, keberpihakan terhadap kebebasan untuk membentuk Negara berdaulat telah berhasil diwujudkan. Indonesia kini menjadi Negara Kesatuan yang merdeka tanpa campur tangan kedaulatan dari pihak asing.

Namun bukan berarti tak ada lagi masalah yang kembali menerpa bangsa Indonesia setelah memproklamirkan kedaulatan diri sebagai Negara yang merdeka. Banyak Negara-Negara bekas penjajah yang masih merasa berhak atas tanah di bumi Nusantara. Mereka saling berebut untuk menguasai wilayah bekas jajahannya lagi. Termasuk ketika bangsa ini menghadapi peristiwa mengerikan sebagai dampak dari pijakan pencarian dukungan perang dingin antara liberalis dan komunis dalam kengerian perang dunia. Propaganda-propaganda rencana penculikan dengan dalih pemberantasan komunisme di Indonesia semakin marak karena unsur politis lebih dikedepankan daripada kepentingan penyelamatan Negara. Peristiwa tersebut pada akhirnya melahirkan bentuk prasasti bersejarah dengan nama G30S/PKI.

Peristiwa yang menjadi latar belakang diperingatinya tanggal 1 Oktober sebagai hari kesaktian Pancasila ini memang sebuah konstruksi sosial atas kemampuan bangsa Indonesia untuk memenangkan pertarungan melawan pemberontakan PKI yang ingin merubah idealisme NKRI dengan ideologi komunisme. Kegagalan  kaum komunis untuk mengubah konsep dasar negara melalui Gerakan 30 September yang menewaskan pahlawan revolusi, antara lain A. Yani, D.I. Panjaitan, M. T. Haryono, Sutoyo, dan lain-lain menjadikan peristiwa Gerakan 30 September 1965 sebagai peristiwa sejarah yang tidak boleh dilupakan atas nama HAM, demokratisasi dan reformasi. Reformasi mungkin tidak akan bisa mengubah kejadian pemberontakan PKI di Madiun, sebuah pemberontakan yang dilakukan oleh PKI pada tahun 1965. Banyak orang pula yang beramai-ramai menyusun sejarah bantahan terhadap peristiwa Gerakan 30 September 1965. Walaupun demikian, harus tetap kita diyakini bahwa PKI telah melakukan makar terhadap pemerintah Republik Indonesia, NKRI yang memiliki dasar ideologi Pancasila.

Berbeda dengan kasus G30S/PKI yang terjadi pada era sebelum reformasi, kekhawatiran akan munculnya penolakan tehadap ideologi Pancasila kini telah merambah pada terbentuknya organisasi-organisasi yang mengancam keutuhan bangsa dan Negara. Organisasi-organisasi tersebut antara lain OPM, GAM, NII, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), dan masih banyak lagi.

MMI dan FPI mungkin tidak secara terang-terangan menyatakan penolakan terhadap NKRI. Namun kegiatan-kegiatan yang berpacu dalam organisasi-organisasi tersebut telah mengarah pada rencana pembentukan Negara Islam yang notabennya sangat bertentangan dengan kemajemukan di Indonesia. Padahal organisasi Islam yang terkemuka seperti NU dan Muhammadiyah saja mendukung asas keberagaman Pancasila sebagai bagian dari upaya pemersatu bangsa. Pihak NU sendiri tetap konsisten menegakkan empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu Negara Kesatuan RI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Upaya pendiskreditan Pancasila oleh kelompok-kelompok anti-NKRI kini terus menerus digencarkan baik melalui pertemuan-pertemuan terselubung seperti pengajian, situs di internet, serta selebaran-selebaran yang mengandung aroma doktrin atas nama agama. Seperti kutipan dalam situs muslimdaily.net yang menghina keberadaan lambang Garuda sebagai lambang Negara Indonesia.

“Agama Islam sendiri sebagai agama mayoritas rakyat Indonesia setelah era Hindu juga tidak mengenal simbol ‘burung Garuda’. ‘Burung Garuda’ juga tidak pernah benar-benar ada karena hanya sebuah mitos, berbeda dengan burung elang botak yang merupakan binatang asli Amerika. Karena bukan simbol asli bangsa Indonesia maka tidak ada lain simbol ‘burung Garuda’ mengadopsi simbol-simbol kebudayaan asing yang memang memuja-muja simbol ‘burung mirip Garuda’, yaitu Yahudi yang gerakan Fremasonry-nya sangat berpengaruh sampai saat ini.” (kutipan muslimdaily.net)

“Orang-orang yang merancang simbol ‘burung Garuda’ sebagai simbol negara adalah Sultan Hamid II, Ki Hajar Dewantoro dan Muhammad Yamin. Ketiganya adalah pengikut gerakan Vrijmeselarij dan Theosofi. Sedangkan Presiden Soekarno yang menetapkan simbol ‘burung Garuda’ sebagai lambang negara juga berada dalam pengaruh Fremasonry melalui ayahnya yang merupakan anggota Perhimpunan Theosofi Surabaya.” (kutipan muslimdaily.net)

Perlu diketahui bahwa pengaruh aliran-aliran ekstrimis yang tidak setuju dengan keberadaan Pancasila sebenarnya didasari oleh kepentingan satu golongan saja. Mereka tidak menyadari bahwa rakyat Indonesia terdiri dari berbagai macam golongan ras dan agama yang berbeda. Pancasila dan kesaktiannya telah mampu mempersatukan seluruh elemen masyarakat dengan refleksi konstitusi yang dituangkan dalam pembukaan UUD 1945. Melalui hari Kesaktian Pancasila sekarang ini, mari mencoba untuk menggali kembali makna mendalam Pancasila sebagai ideologi bangsa, dasar hukum, dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk ditanamkan ke dalam diri dan sanubari, sehingga kelak seluruh elemen masyarakat dapat menjadi generasi bangsa yang mempunyai wawasan kebangsaan dan nasionalisme tinggi. Supaya di kemudian hari para generasi penerus bangsa tidak mudah terjebak pada tindakan menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan seperti PKI dan organisasi-organisasi semacamnya.

Hari Kesaktian Pancasila bukan hanya dimaknai dalam arti mitologi bahwa karena kesaktiannya Pancasila mampu menggagalkan rencana PKI untuk menguasai Negara dengan Ideologi komunis. Akan tetapi jadikan hari tersebut sebagai wahana pendidikan bagi anak-anak didik bangsa Indonesia untuk melaksanakan nilai-nilai Pancasila secara murni dan konsukuen dengan semangat belajar dan prestasi. Ada tiga prinsip yang harus ditanamkan pada menurut Presiden Soekarno yang sering disebut dengan Trisakti. Pertama adalah sakti dalam berbudaya dan berkepribadian. Kedua, sakti dalam bidang ekonomi yaitu berdiri di atas kaki sendiri (berdikari). Dan ketiga adalah sakti dalam berdaulat dan menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mari kita wujudkan kehidupan yang damai, aman, dan tentram sesuai dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. -agk-


01 October 2013 | 11:13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar