Istilah
toleransi memang terkadang menjadi polemik tersendiri ketika dikaitkan dengan
kehidupan antar umat beragama. Adanya suatu pemahaman yang mengkultuskan bahwa
dengan bersikap toleran akan sedikit banyak berpengaruh pada pergeseran akidah
membuat banyak kaum agamawan bersikukuh memperketat batas-batas toleransi.
Padahal sejatinya jika kita mau berpikir mengenai batas, tidak ada batas
tertentu untuk memaklumi kemajemukan yang ada. Batas tersebut terletak pada
keyakinan yang tertanam dalam diri manusia itu sendiri. Adanya pembatasan dalam
konteks pengendalian diri ini sebenarnya telah menunjukkan bahwa setiap manusia
selalu berpikir bebas sesuai dengan yang dikehendaki. Penentangan konsep
liberalisme dalam berpikir pun sebenarnya semakin menunjukkan bahwa tidak ada manusia
yang berpikir tanpa kebebasan.
Misalnya
dalam toleransi antar ras. Keyakinan terhadap kedudukan ras yang dirasa paling
tinggi diantara ras-ras lain akan menyebabkan kesenjangan sosial ketika mereka
hidup dalam dinamika masyarakat plural. Masyarakat yang berjiwa pluralis tidak
menghendaki penghakiman segala sesuatu berdasarkan kebenaran mutlak suatu kaum.
Namun akan sangat menjunjung tinggi kearifan lokal apabila berada diantara
masyarakat wilayah tertentu. Inilah cara pandang horizontal yang harus diketahui
banyak orang. Pandangan horizontal ini bermakna pada kesetaraan suatu ras
dengan ras lainnya. Perbedaan horizontal tidak bisa dijadikan pembanding mana
yang baik dan mana yang tidak karena memang setiap ras mempunyai ciri khas
sendiri-sendiri. Kalau Anda perhatikan tentang sejarah manusia, semua orang
atau setiap individu sebenarnya berasal dari Afrika. Kemudian mereka menyebar
ke seluruh dunia membentuk ras yang beragam. Etnik-etnik yang ada di Indonesia
pun hampir semua berasal dari daerah Yunan atau Cina bagian selatan. Sehingga
kesetaraan itu semakin nyata terlihat karena asal muasal nenek moyang yang
jelas sama.
Dalam
memaknai istilah pluralisme sejatinya kita harus memiliki pemikiran yang luas.
Apabila tidak, maka akan muncul fitnah dan spekulasi perpecahan dimana
pergusuran keyakinan terutama masalah agama ditekankan di sini. Pluralisme
agama sebagian besar dimaknai dengan keyakinan kata semua agama adalah
benar secara mentah. Karena itulah kenapa para penganut paham
seperti ini akan seenaknya berpindah-pindah agama sesuai dengan mood, style,
atau alasan yang lain. Pembenaran ini didasari oleh jiwa humanis yang sangat
tinggi, akan tetapi mereka telah kehilangan makna dari pemahaman konsep
ketuhanan. Ada juga motif tertentu dalam perpindahan agama yang terjadi justru
karena tingginya pemahaman seseorang dalam pemikirannya terhadap eksistensi
Tuhan. Teori ketuhanan dan kemanusian yang berimbang akan memunculkan
pencarian-pencarian kebenaran pada manusia yang mau berpikir sampai mereka
menemukan titik benar yang mereka cari. Tidak ada paksaan dalam beragama.
Jika
ditanya “lalu bagaimanakah cara memaknai pluralisme agama secara tepat?”, saya
akan menjawab bahwa perkataan ‘semua agama adalah benar’ tidaklah salah.
Semua agama adalah benar dari perspektif kebenaran masing-masing individu
dan perspektif keilahian itu sendiri. Agama Islam benar menurut
orang-orang islam. Agama Yahudi benar menurut orang-orang Yahudi. Agama
Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan lain-lain adalah benar menurut para
penganutnya. Bahkan untuk isme-isme dan ideologi-ideologi lain juga berlaku
prinsip yang sama bahwa ideologi dan isme, termasuk keyakinan agama, prinsip,
budaya, dan peradaban yang jika Anda mampu memahami semua itu maka atheisme
sekalipun adalah isme yang benar menurut para peyakinnya. Persoalan keimanan
adalah sesuatu yang intrinsik, unik, dan individual berdasarkan pada
kondisi-kondisi yang tidak sama antara satu orang dengan orang lainnya. Artinya
keimanan itu tidak bisa tampak atau terlihat hanya dari pernyataan dan
aktivitas seorang individu. Karena tidak ada seorang pun yang akan tahu apa-apa
yang sudah terjadi di dalam jiwa dan pikiran seseorang. Jadi ada dua pemaknaan
di dalam istilah pluralisme. Disinilah pentingnya kita memahami konsep dasar
agama dan ketuhanan secara baik dan benar.
Pluralisme
tidak akan pernah berhenti berkiprah sebagai isu yang memicu banyak perdebatan.
Penentang konsep pluralisme sendiri kebanyakan berasal dari kaum radikalis
agama. Mencuatnya tokoh-tokoh yang diberi label liberal oleh para radikalis
agama seperti Cak Nur, Achmad Dahlan, Bung Karno, Soeharto, Habibie, Jusuf
Kalla, Mahfud MD, Hamka, Gus Dur, Kang Jalal dan sebagainya telah menunjukkan
adanya gerakan toleransi yang benar berdasarkan pemikiran-pemikiran brilian
mereka. Jokowi-Ahok kemudian muncul sebagai trade mark kehidupan masyarakat
plural. Mereka begitu membumi dan secara perlahan menggerus paham radikalisme
agama yang meracuni masyarakat. Eksistensi kekuatan radikalis pluralisme ini
telah membuat banyak penentangnya kebakaran jenggot. Stempel sesat dan kafir
seolah menjadi jurus terakhir bagi mereka sebagai bagian dari pembunuhan
karakter. Para radikalis agama akan sangat membenci kemajuan pluralisme,
apalagi melihat kiprahnya di dunia politik mendapat dukungan khalayak luas.
Kebencian itu ditunjukkan dengan munculnya kampanye hitam serta adanya indikasi
pelengseran Jokowi dari jabatannya sebagai Gubernur Jakarta. Mereka akan
menghalalkan segala cara dengan pemahaman bahwa ketika dalam keadaan darurat
maka membunuh, korupsi, penyelewengan, dan gratifikasi seks adalah suatu
kebenaran. Tidak ada dosa dalam kondisi darurat. Dan semua pemahaman itu adalah
racun yang harus dicarikan penetralnya.
Inilah
kehidupan. Tidak ada kebaikan tanpa adanya kejahatan. Tidak ada kebenaran tanpa
adanya kesesatan. Tidak ada keimanan tanpa adanya kekafiran. Kaum radikalis
agama, ras, budaya, dan pluralism sebenarnya ada karena hidup ini membutuhkan
titik keseimbangan. Tidak ada toleran tanpa intoleran. Semua akan berperang
demi tegaknya eksistensi pemahaman masing-masing. Bahkan tanpa anda sadari
sebenarnya ada perbedaan nyata antara toleransi dan radikalis
toleransi. Salah satu contoh toleransi yang murni dapat kita ambil dari
masyarakat ‘Jawa Stagnan’. Mereka tidak akan mempersoalkan pemahaman apapun
yang bermunculan di sekitar mereka, termasuk pemahaman yang radikal. Intinya ‘Sak
Karepmu’ (terserah anda). Berbeda dengan para radikalis toleransi yang
secara terang-terangan ingin menghapuskan segala bentuk intoleransi sehingga
terciptalah kedamaian yang nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
27 May 2013 | 11:38
Tidak ada komentar:
Posting Komentar